Batu dan Manusia

Sunday, September 19, 2010

Salam Gaul.
Apa sih gaul itu, teman? Sekedar anak skate, foga, basket, behel, BB, belah tengah, tas longchamp, macbook or whatever it is...Ketika arti 'gaul' sudah sesempit itu, sesempit itukah pikiran anak-anak muda jaman sekarang? (intro gue emang selalu ga penting)

Oke, intro di atas emang gak ada hubungannya dengan tema yang mau gue angkat.


Ketika mau naik kelas di kelas 2 SMA, kebanyakan manusia-manusia yang baru naik dari kelas satu itu terdoktrin bahwa anak IPA mempunyai social-degree yang lebih tinggi. Lalu mereka pun berbondong-bondong mengisi pilihannya di: IPA. Tapi ketika kuliah mereka masuk ke jurusan : IPS.


Gue seseorang yang termasuk dalam anak IPA tapi kuliah IPS. Tapi bukan tanpa alasan, gue sangat ingin masuk jurusan arsitektur (yang notabenenya mesti anak IPA). Walau sekarang gue gak masuk ke jurusan tersebut, gue gak merasa bersalah masuk psikologi karena ini jurusan yang netral. Kalo kata senior gue, "disini anak IPA ama IPS sama aja, kita belajar hal-hal yang belum kita punya sebagai mata pelajaran dulu. Gak kayak anak sosiologi atau geografi yang dulu di SMA udah ada. Apalagi psiko itu kan pecahan kedokteran, jadi yaaa setengah IPA stengah IPSlah yaa."

Off to main topic, gue, atau mungkin elo semua, kayaknya pernah mikir (hehe mikir lagi) susahan ipa apa ips yaa? Sementara ini gak kayak kuliah yang ketika lo gagal di Ipa lo bisa balik ke kelas dua lalu ngulang Ips. Gak semudah membalikkan telapak kaki (?), kawan. Kita juga bukan Hermione yang punya kalung buat muter waktu biar ada di kelas yang berbeda dalam waktu yang sama. Sementara gak masuk akal kalo lo sekedar bilang "susahan IPA" ketika lo gak pernah berada di IPS, ya gak? Ciri ilmuwan itu skeptis, bukan?

Semalem gue terlibat perdebatan dan diskusi ringan sambil ngakak-ngakakan bareng temen kuliah gue di yahoo messenger. Dari ngomongin fesbuk gue apa kabarnya sekarang sampai perdebatan ipa-ips itu yang akhirnya kita punya jawaban bulat-sepakat-mufakat.

Dia baru baca blog gue (yang gue paksa juga) yang postingan "Rumus Ideal". Dia berpendapat bahwa dunia emang butuh matematika dan contoh yang gue ambil memang simpel. Gue sih bersyukur dia nangkep bahwa gue mau ngomongin filsafat dengan simpel, hehe. Kemudian gue jawab, memang dulu (saat gue ingin meracun yang bikin matematika) dunia gue sesempit antara gue butuh atau tidak.
Dan gue baru sadar,
Itulah jalan pikir anak IPA. Sesimpel itu. Awal, dan akhir. Dari awal, yang penting hasil.

Kemudian dia setuju dengan teori "cinta butuh matematika" gue. Setiap orang punya kriteria "pasangan harus punya skill", itu kan hitungan standar minimum juga kan ya.
Oke gue semakin ngelantur.

Trus dia bilang tiba-tiba, IPA ama IPS itu saling berkaitan.
Oke ini gue setuju, tapi kayaknya gak secara langsung sih yaa.
Argumen gue, seperti di buku kemarin-yang-super-gaul-itu IPS itu ilmu yang sulit berkembang karena objeknya manusia dimana objek itu terpengaruh kemajuan teknologi dan kebudayaan, sementara IPA lebih cepat maju karena objeknya sesuatu yang konkrit tidak termakan dimensi waktu, misal batu. Dari jaman dulu sampe sekarang batu tetep begitu kan bentuknya? Item keras dan ga bisa dimakan. Titik didih air di sini dan di Eropa sama-sama 100 derajat Celcius, sementara ambang batas orang Jawa dan Belanda marah mungkin akan sangat berbeda.
Dia pun setuju bahwa jika buat orang IPA 1+1 itu 2, atau jika lo berdebat dengan guru 1+1 itu 3, lo diusir dari kelas, maka di IPS tidak begitu. Apalagi di sosiologi. Lo bisa mendebat 1+1 itu 5. Asalkan lo punya argumen yang kuat, lo bisa dapet 90. Lo bisa jawab sesuka hati lo. Lo bahkan bisa menjawab kalo 1+1 itu 5 dari dulu, pasti sekarang 1+1 itu 5.

Berpikir mengapa begitu akhirnya, itulah IPS.
Berpikir bagaimana caranya menjadi begitu, itulah IPA.

Mungkin keterkaitannya gini, kesimpulan gue. Ketika IPA sudah dapat jawaban, IPS akan mencari alasan-alasan logis mengapa bisa seperti itu.
Toh kan semua ilmu itu dari filsafat, jadi IPA-IPS itu bersaudara melengkapi. Kata temen gue juga, IPA dengan ilmu pastinya menguatkan IPS.
IPA itu menekankan aksiologinya, dan IPS itu menekankan pada epistemologisnya.
Yah itulah kesimpulan sotoi gue dan temen gue dengan pembicaraan kaco kita. Kata istri K.H. Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah, Siti Walidah, kita gak boleh takut salah. Karena kalo gak salah kita gak akan pernah belajar :).

"Da stech 'ich nun, ich armer tor. Und bin so klug als wie zuvor. (Nah di sinilah aku, si goblog yang malang. Tak lebih bijak dari sebelumnya)" [Faust]
p.s. thanks to Bari, lo teman berfilsafat yang asik! Next time, we should talk about another topics :D See ya at YM! hahahahahahh

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!