Man is Main?

Saturday, December 18, 2010

Selamat malam.
Halo para anak UI atau anak kampus lain yang malam minggu begini justru terjebak dengan bayang-bayang UAS. Besok sudah mulai minggu tenang lho, jadi tenang saja. Tapi gue juga baru sadar di UI yang namanya minggu tenang ya cuma satu hari minggu. Jadi lusa sudah mulai UAS. AAAAAAAAA

Oke, karena gue mulai penat harus mengulang tugas UAS Bidik yang gue salah menggunakan kertas, gue mendingan bikin postingan dulu sambil denger TTATW. Hadeeh, adem banget lagunya :) :). Hari ini cukup cerah, walau tadi siang hujan badai (yang cuma 5 menit). Masa ujannya sampe tampias ke muka gue yang sedang di kamar kos, padahal jendela kamar gue aja berjarak satu meter dari beranda. ckckck.

Semalam gue terlibat (sedikit) perdebatan dengan teman gue di sms tentang seorang lelaki. Cowok yang sedang jadi bahan pembicaraan ini adalah seorang senior beda fakultas. Nah, gue sudah membela diri kalo gue ga ada "kimia" ama nih orang. Eh temen gue (yang cowok juga) ini bilang, cowok itu key-nya, kalo dia mau, pasti jadi. Ah, mungkin hanya merasa superior. Tapi dulu senior gue di SMA pernah bilang hal yang sama sih, asal cowonya yang sayang aja, pasti jadi. Kalo cewenya aja yg sayang, gak bakalan jadi.

Gue jadi sedikit teringat dengan istilah variability hypothesis, dimana untuk segala hal pasti cowo sama cewe itu berbeda. Hm, satu kata yang kemudian terlintas : emansipasi.

Hampir semua temen bilang gue itu rasionalis (semua, bahkan). Tapi kenapa ya, gue nggak ngakuin yang namanya emansipasi. Nah balik lagi deh ke psikoanalisa. Kenapa gue ga mengakui emansipasi? Pertama, cewe tetap mau didahulukan naik bis, duduk di bis, dan dilindungi saat menyebrang. Kedua, di agama gue, wanita memang ada untuk mematuhi suami. Ketiga, secara ga sadar keluarga gue seringkali menyebut istilah "kamu tuh cewe, ga boleh bla blablabla". Intinya, akumulasi itu semua membentuk gue yang ga setuju sama emansipasi. Apalagi yang masalah "ladies first". Sebenernya cewe maunya disamakan apa dibedakan sih? Aneh~

Gue jadi tertarik belajar psikologi gender kalo ada waktu. This another hectic weekend will kill me softly. Tapi berkat pekerjaan-pekerjaan ini gue puas sekali. Tulisan gue sudah jauh lebih oke. Dan akhirnya dosen logpen gue yang belum pernah memuji tulisan gue, esai gue kemarin diberi feedback "bagus. koheren dan cukup tajam". Sumpah rasanya pengin kayang di akademos. Haha.

Off to main topic, intinya sih gue tidak merendahkan diri gue sendiri sebagai seorang wanita, menjadi wanita itu sulit. Lemah, mesti nutup aurat, mesti jaga diri. Apalagi di keluarga Jawa. Etikanya ribet banget. Mesti bisa masak, mesti bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Wanita juga ngerasain PMS dan haid yang ga enak banget. Tapi kenapa ya itu bikin gue bangga.

Got what I mean? Ketika pria (dan teman sms gue itu) merasa lelaki superior, dan wanita bangga dengan segala kerendahannya, mana yang lebih bermakna?

Bahwa wanita dan pria ada, memang untuk saling melengkapi.

"When women go wrong, men go right after them." [Mae West]

You Might Also Like

2 comments

  1. kalo dibuka kelas (psikologi gender)nya bareng ya...

    anyway, i find this quote memorable and I put it in my last journal

    “When women are depressed they either eat or go shopping. Men invade another country” (Elayne Boosler, dalam Men vs. Women - Quotes, 1997).

    ReplyDelete
  2. Oke bal. Kalo ada itu kelas pasti kita bakal terlibat banyak diskusi ahhahaha.

    jurnal terakhir lo apa sih? Bukannya birth order?
    haha.
    That's true. I prefer to eat, and you'll go skirmish. hahahha

    ReplyDelete

Let's give me a feedback!