Holiday = Holy-day

Saturday, May 28, 2011

Uah!
Gue udah ga sabar menantikan liburan gue yang in total berjumlah 3 bulan 3 minggu. Banyak banget rencana untuk keluar kota bersama berbagai macam orang dan komunitas. Huahahahah. Gue sudah tidak menyesal tidak mendapat kelas Semester Pendek lagi. Malah pas kabarnya kelasnya akan ditambah kapasitasnya (dan berarti gue bisa masuk, urutan waiting list gue 32 dari 30, dan katanya jadi 45) gue panik sendiri. Pas liat SIAK, sistem kampus gue untuk perkuliahan, ternyata enggak. Dan barusan gue men-drop kelas itu saudara-saudara! GUE DROP! YEAAHHH! SAY NO TO SP! Holiday is holy-day, so don't disturb my holiday! YEAHHHHHS *abaikan*

Jum'at lalu gue baru mengikuti UAS Filsafat Manusia. Namun yang terpikir di otak gue adalah soal bahasa isyarat. Baru-baru ini gue mempelajari American Sign Language untuk sesuatu. Selain diajarkan, gue juga belajar dari lagu-lagu yang di ASL-kan di youtube. Pada saat sedang belajar, pelatih gue beberapa hari yang lalu abis berulangtahun. Yasudah, kita mengucapkan happy birthday lewat ASL. Terus kita ketawa-ketawa, karena hasilnya garing banget.

Tapi pas udah pulang ke kosan, merebahkan diri, termenung sejenak, gue sadar. Kenapa tadi gue ketawa? Ada yang salahkah dengan dunia yang sunyi? Ada yang salahkah dengan ASL? Kalo tadi gue ngetawain ASL, apakah berarti gue juga ngetawain orang-orang diffable (bukan disable ya) ? Gue langsung mengutuki diri sendiri. Padahal malam kamis sebelum latihan, gue baru saja menonton I Am Sam dan A Beautiful Mind. Emang agak telat sih nonton karena film itu dari lama, tapi gue bersyukur karena gue menontonnya setelah gue mendapat ilmu psikologi soal penyakit yang dialami Sam dan John Nash dalam film itu. Back to topic, dalam kedua film itu ada adegan dimana Sam dan Nash dianggap aneh, dipandang dengan tatapan jijik, dan diremehkan.

Dari film itu, gue sadar bahwa orang-orang dengan kekurangan atau gangguan mental akan selalu dianggap aneh. Menurut sosiologi, manusia dibentuk masyarakat. Apa yang tidak dilakukan atau dipunyai oleh kebanyakan manusia lain dalam satu kelompok, jika ada satu orang yang memilikinya, maka ia akan dianggap aneh. Seperti kata Sartre, orang lain adalah neraka bagiku. Maka, kehadiran orang lain membuat kita terbatas, tidak bebas. Mereka memberikan penilaian dan membatasi kita untuk harus seperti mereka juga.

Filsuf-filsuf eksistensialis selalu bilang manusia itu eksis jika ia bebas, jika ia bebas menentukan pilihan, eksis = bisa memilih. Namun, mereka dengan keterbatasan, kekurangan, dan sesuatu yang berbeda itu tidak pernah punya pilihan. Ya, mereka tidak punya pilihan untuk itu. Suatu waktu, gue chat facebook dengan dosen gue membahas indigo. Meski indigo bukan gangguan jiwa atau apapun itu, dosen gue hanya menyebutnya sebagai anomali, ia mengatakan being indigo is gifted by God. Tapi, kerap kali mereka juga ga ingin jadi indigo ketika kemampuan mereka yang diberi Tuhan adalah kemampuan seperti melihat kematian (dosen gue punya teman indigo juga). Mereka cuma tidak punya pilihan.

Gue sudah menjudge orang-orang yang ketika ketemu orang gila (skizofrenia) itu malah ketawa adalah orang-orang jahat, namun gue juga lupa. Orang-orang yang tertawa itu, tidak mengerti mengenai skizofren, dan tidak tahu rasanya menjadi skizofren. Dan gue sangat merasa beruntung sudah ditakdirkan Tuhan masuk ke jurusan yang menjelaskan itu semua.

Simpel, kalau orang sakit fisik akan langsung diberi bantuan dan semua orang mengerti kondisinya. Bagaimana dengan sakit mental?
Apakah pernyataan gue bahwa psikolog lebih mulia dari dokter itu berlebihan?
Adilkah jika dikatakan selalu ada pilihan?

You Might Also Like

2 comments

  1. Jiahh, Anak Indigo Lo Bawa-Bawa. Kalo Ketemu Lo Lagi, Gw Pengen Bahas Soal Becandaan "MKKB". Gw Ngerasa Ada Benernya Itu Istilah Buat Gw

    ReplyDelete
  2. hehe, itu kan hasil diskusi ama dosen gue.
    yah cerita2 lah ama eke :3

    ReplyDelete

Let's give me a feedback!