Brand Loyalty

Sunday, August 07, 2011


Beberapa waktu yang lalu saya mengalami kecelakaan. Ketika mau mengambil buku di lemari ayah saya, kacanya lepas dan jatuh pecah ke arah kaki saya. Tidak sakit, namun ketika mau membersihkannya ternyata kaki saya tersayat. Cukup banyak darah yang keluar, lalu saya mengambil P3K saya. Tersadar, semua alat yang saya pakai bermerk betadine.



Saya memang bisa begitu setia pada sebuah benda, dan saya punya kepercayaan apa yang sudah menjadi hak milik saya akan kembali dalam kondisi apapun. Penggaris besi saya sejak SMP, 3 kali menghilang. Sempat menghilang satu semester, saya ketemukan di kolong meja saat SMA. Saya sampai hafal cacat dan selotip penandanya yang lusuh. Sepele? Ya, memang. Tapi itu membuat saya memiliki koneksi kuat dengan barang-barang saya. Kesimpulannya, apa saya orang setia?

Pada barang mungkin iya. Pada orang?
Satu-satunya sahabat terlama saya adalah Bella. Kami bersahabat sejak SMA. Dari pertama bertemu sampai sekarang, ia ga pernah berubah. Masih tetap Bella yang lucu, masih tetap sama pacarnya yang brewokan, masih tetap suka mukul, masih tetap begitu. Masih tetap Bella yang apa adanya. Saya sudah menebak dia memang begitu dari awal menjadi teman satu meja. Saya memang begitu, suka menebak orang saat pertama mengobrol kemudian memprediksikan akan bagaimana hubungan kami nantinya.

Tapi mungkin tidak soal hubungan yang menyangkut percintaan. Jatuh cinta? Saya bahkan tidak tahu apakah saya pernah mengalaminya atau tidak. Setiap akhir hubungan saya menyadari bahwa selama ini saya mungkin hanya kagum, dan perlahan rasa itu memudar ketika tertimpa kekurangan sifat sebenarnya.

Some says, true love is like a  ghost. It has been talked by all people, but only few have seen. Same case for me. Orang bilang, cinta sejati itu membuat kita semakin jatuh cinta ketika bersama orang itu. Kita semakin jatuh cinta dengan kekurangan dan kelemahannya. Tapi jujur, saya belum pernah merasakan hal itu. Mendengar rekan saya di komunitas bisa menjalin hubungan selama 8 tahun menjadi sesuatu yang luar biasa bagi saya. Meski akhirnya putus, bagi saya 8 tahun adalah waktu yang begitu lama. Saya terus memikirkan bagaimana bisa melakukannya.

Manusia itu unik, manusia bukan benda, oleh karena itu ia pasti berubah. Ada banyak faktor yang membuat ia berubah. Lingkungan, teman, pacar, dan terpenting: keluarga. Keluarga memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak. Life is an adventure, maka keluarga yang membiarkan anaknya bertualang kesana kemari akan menimbulkan rasa tanggung jawab pada anak karena mereka dipercaya untuk menentukan pilihan. Sementara keluarga yang memanjakan namun otoriter akan membuat anak menutup pemikirannya.

Kata dosen saya, nggak ada teh yang sampai habis akan terasa sama manisnya. Begitu juga orang. Karena proses berkembang berlangsung semasa hidup. Saya tahu saya idealis, namun saya masih mencari orang yang sama. Orang yang masih akan tetap sama dari saya pertama berjumpa sampai kemudian menjadi dekat. Mungkin saya menyamakannya dengan benda, namun itu satu-satunya cara agar saya memiliki loyalitas terhadapnya. Teringat pola pikir teman saya, yang hanya akan berpacaran jika ia telah menemukan orang yang sekali pun tidak akan membuat ia ragu.

Terima kasih untuk partner saya sampai bulan Juli kemarin, mungkin kamu akan tetap sama untuk orang lain, bukan saya. Kita dulu dekat karena ajang pemilu kampus, dan sering berdebat. Seharusnya kita tahu bahwa perbedaan itu bukannya akan menyatukan kita, bukan hanya sekedar seru punya partner debat. Dulu, kamu bilang kagum dengan pemikiran saya, sekarang saya tahu kamu berada di seberangnya dengan statement-statement kamu.

Terima kasih, selamat melanjutkan hidup kamu tanpa mengganggu pemikiran dan dunia saya yang dari dulu memang tidak kamu mengerti bahkan tidak kamu sukai. Kamu sudah mengerti kan dari tulisan saya? Ya, dunia kamu dibesarkan terlalu berbeda dengan bagaimana saya dibesarkan. Tidak ada yang salah dengan pola itu, namun saya menyerah untuk mencoba berusaha mengikuti pola hidup kamu. Pria memegang kata-katanya kan? Jadi tetaplah menjadi teman saya, seperti yang kita sepakati saat terakhir bertemu.

Iya, mungkin saya yang berubah, mungkin saya yang nggak bisa nerima apa adanya. Atau mungkin saya telah membuat kamu berubah? Tapi hey, namanya juga pengalaman. Saya berdoa kamu bisa tambah dewasa menyikapi apa yang sudah lalu, begitu pula saya. Selamat menjadi dewasa ya.

Ah ya -- saya jadi sadar. Kita tidak berubah, masih suka berdebat. Mungkin seperti prinsip kepemilikan saya, bahwa kamu diciptakan bukan untuk saya.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!