Umur 66 Tahun

Monday, August 22, 2011

Indonesia ini butuh perubahan.

Indonesia punya 17.000 pulau dan 230 juta penduduk. Punya 33 provinsi, dan 34 kementrian. Punya ribuan budaya, warisan yang tak ternilai harganya. Punya hutan yang sekarang masuk dari 3 hutan warisan dunia. Punya belasan ribu spesies hewan dan tumbuhan. Punya terumbu karang terkaya nomor 2 di dunia. Punya batik dengan ratusan motif. Punya sendratari dan epik mahakarya. Punya kualitas mineral dan hasil perkebunan kelas dunia.
Apa yang kurang?


Jawabannya, seharusnya tidak ada.
Di usia 66 tahun, Indonesia seharusnya tidak kekurangan apapun. Namun apa yang saya lihat, jauh dari apa yang seharusnya rakyat punya. Saya berkenalan dengan nelayan yang mata pencahariannya habis karena bisnis PLTU. Saya melihat petani yang harus tinggal dengan keluarganya beserta 2 keluarga lain dalam satu rumah. Saya mendengar bagaimana aktivis masyarakat diintimidasi premanisme birokrasi negara ini. Saya mengobrol dengan pengumpul daun cengkeh yang harus membungkuk mengumpulkan daun setiap harinya, dan hanya dibayar 800 rupiah per kilogramnya.

Di sisi lain, saya melihat potensi daerah. Teman saya membeli 3 ikan patin segar dan besar sepanjang lengan orang dewasa dengan harga 5000 rupiah. Tanah produktif kosong dan menjadi sengketa, padahal bisa ditanami berbagai macam tanaman. Saya disambut keramahtamahan berbagai warga daerah.

Indonesia ini terlalu indah jika harus kalah di tangan para birokrat dan pengusaha. Tapi nyatanya kita kalah. Kita kalah di tangan para pembuat keputusan yang katanya adalah wakil suara kita. Kita kalah di tangan para pengusaha yang tak segan menggelontorkan uang demi keuntungan selanjutnya berkedok kesejahteraan rakyat.

Pembebasan lahan, apa itu pembelian tanah yang disertai kehadiran preman, TNI, dan polisi? Analisis manajemen dampak lingkungan, apa itu AMDAL yang baru disosialisasikan setelah separuh bangunan bercorong penghasil debu telah didirikan? Pernikahan dini merajalela, kemana saja manajemen puskesmas dan program pemerintah yang seharusnya menjangkau daerah terpencil?

Bapak-ibu di Senayan, kemana saja kalian? Ya, saya hargai kerja keras kalian mengikuti kajian strategis dan rapat hampir setiap hari - jika memang diikuti dengan sepenuh hati. Saya hargai kerja keras kalian, merancang keputusan untuk rakyat - jika memang benar-benar untuk rakyat.

Tapi saya juga benci melihat kalian, yang tidak bisa duduk bersama rakyat, mendengarkan, berjalan bersama, dan memenuhi aspirasi mereka. Saya benci melihat kalian, yang kisruh soal parpol kalian saja, sementara masalah sebenarnya di daerah tidak bisa menunggu sampai parpol kalian bebas dari korupsi. Saya benci melihat kalian, yang membiarkan hutan habis, laut tercemar, dan gunung diledakkan dan hanya diam karena aliran dana. Saya benci melihat kalian, yang setiap lewat hanya membuat macet sementara pasang tampang dan berkata akan menuntaskan kemacetan. Saya benci melihat kalian, dengan bintang jasa, padahal saya merasa anda tidak pantas untuk itu.

Saya lebih banyak benci kepada kalian, bukan menghargai kalian. Bukan masalah pribadi. Bukan mau sok mengkritik. Tapi itu yang saya lihat. Lewat kacamata jujur orang desa, yang berpeluh untuk menghasilkan apa yang bapak-ibu makan saat ini. Bukan lewat kacamata pendusta pengusaha, yang tak pernah tahu apa rasanya tidur di gubuk mereka.

Nasib? Ya, mungkin. Tapi bukankah bapak-bapak dan ibu ini kami pilih untuk mengubah nasib kami?

Indonesia perlu berubah. Bukan perubahan seperti negara-negara super kaya yang katanya bapak-bapak lihat lewat "studi banding". Indonesia perlu peubahan, dan harusnya bapak-ibu mencontohkan hal itu.

Hei, Pak. Tahu tidak? Anak muda sekarang, kalau kata rekan saya, sudah menjadi anak zaman. Seharian berkutat di depan laptop, main internet, games, atau apalah itu, kuliah secepatnya, cari kerja enak, menikah, punya anak, lalu menunggu mati. Indonesia tidak akan berubah Pak, jika seperti ini terus. Inilah pola hidup yang telah bapak-ibu ciptakan lewat birokrasi dan premanisme modern. Puas, Pak? Nanti saya akan hidup tumbuh tua bersama orang-orang itu yang mungkin kelak menjadi pengganti bapak-ibu dan otaknya berorientasi uang tanpa peduli betapa kotornya bidang pekerjaan mereka.

Indonesia perlu berubah. Bagaimana dengan saya? Setidaknya sejak setahun terakhir saya sudah merubah pola pikir saya. Indonesia bukan rumah untuk menunggu mati, tapi tanah untuk perjuangan. Hidup saya mungkin terlalu idealis di umur belasan tahun. Tapi inilah cara saya menikmati sari pati hidup. Silakan remehkan saya, bahwa masa idealis hanya akan bertahan sampai masa muda saya selesai. Tapi, namanya juga perjalanan. Layaknya mendaki gunung, seperti filosofi di National Geographic Traveller yang paling saya suka:
Mendaki gunung adalah refleksi hidup manusia, sulit dan panjang menuju puncak untuk menikmati pemandangan saja, dan setelah itu turun kembali. Masa muda inilah puncak tertinggi saya, dan suatu hari nanti saya juga akan turun kembali. Meski begitu, saya akan turun dengan cara saya, menikmati setiap detik dan jengkal tanah yang harus dipijak.

Soe Hok Gie pernah bilang, beruntunglah mereka yang mati muda. Dan ia begitu beruntung karena mati dengan membawa idealismenya turut serta. Namun jika umur saya masih panjang, saya tidak akan rela idealisme saya mati di tangan korporasi dan birokrasi.

Ini hidup saya. Ini perjuangan saya. Jadi biarkan saya menempuh jalan yang ingin saya tempuh. Seperti mendaki gunung, saya pasti akan turun kembali, saat saya ingin berhenti.

"Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." [W.S. Rendra]
 Bandar, 19 Agustus 2011

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!