Where have you been, Puspita? #2

Wednesday, September 07, 2011

Seperti janji saya, saya akan melanjutkan cerita mengenai liburan saya heheh.

Kunjungan @Jatinangor, 10-11 Agustus 2011
Secara impulsif saya ingin ke Bandung. Bukan bagian gemerlapnya seperti Dago yang sudah sering saya kunjungi. Berhubung banyak yang bilang Jatinangor sepi, saya jadi ingin ke sana. Saya menghubungi teman saya yang kuliah di Unpad, namanya Raine. Saya juga menginap di tempat dia selama di sana. Saya naik bus dari Lebak Bulus. Sepi sekali. Sebelah saya kosong. Teman saya selama di bus hanyalah sebuah majalah National Geographic, dan handphone untuk mendengarkan radio.
Teman perjalanan
Saya berjanji dengan Raine untuk bertemu di Cileunyi. Setelah itu saya diantarkan keliling kampus Unpad. Entah saya yang katro atau memang ATM pecahan 20.000 rupiah itu umum, saya cuma kaget saat melihatnya. Ternyata kampus Unpad Jatinangor itu luas ya, dan viewnya oke banget. Mungkin yang kurang hanya penataan infrastruktur saja, karena letak fakultas dan lab yang berkaitan justru jauh sekali.
Kemudian setelah beristirahat sebentar di kos Raine, saya diantar ke Jatos, yang katanya satu-satunya tempat gaul di sana. Menunggu waktu berbuka, saya mengirim sms ke teman-teman saya di Unpad yang sedang sibuk dengan urusan ospek. Alhamdulillah semuanya bisa berkumpul saat berbuka puasa. Kembali ke kos, saya membeli panganan ringan khas Bandung. Setelah puas berpedas-pedasan, saya terlelap.
View jalan ke Nangor
Esok paginya saya mengobrol banyak dengan Raine. Soal Bandung, soal pacar, soal kuliah, soal teman-teman di sana. Menyenangkan, dan saya diantar ke Leuwipanjang untuk kembali ke Jakarta.

Insight: Mengunjungi teman yang sedang di luar kota memang menghabiskan tenaga, waktu, dan uang. Namun kualitas waktu seperti itulah yang terkadang bisa menjadi ukuran kualitas pertemanan kita. Saya berangkat ke sana tanpa tujuan. Misal mau kemana, atau mau makan apa. Saya hanya memenuhi janji saya pada Raine untuk mengunjungi dia. Dan begitulah, banyak cerita mengalir. Satu lagi, fenomena warga lokal terpinggirkan juga saya lihat di sana. Selama makan, entah berapa kali pengamen menghampiri kami dan kata teman saya mereka itu penduduk lokal. Karena jumlah mahasiswa di sana memang banyak, kadang mereka dijadikan objek dan sumber penghasilan. Sama, seperti di Jakarta, di mana warga asli-nya tergusur oleh para pendatang yang menyerbu Jakarta setiap kali habis mudik lebaran.


PO @Batang, 16-20 Agustus 2011
Koord saya ngobrol sama patung
Dengan warga
Kembali ke tempat ini semakin lama semakin seperti rumah bagi saya. Hari pertama, saya dan teman-teman naik mobil dan banyak mengobrol. Obrolan tidak penting, pastinya. Kami sempat menertawakan plang-plang restoran Pringsewu yang bertabur di jalanan. Tapi nyatanya, saat waktu sahur tiba, kami malah makan di sana. Teori psikologi itu benar adanya. After-effect: bahwa semakin sering otak kita dijejali sesuatu, pada suatu saat kita akan me-recall hal tersebut, menggunakan produk tersebut atau membicarakannya, tanpa sadar bahwa itu adalah efek akibat seringnya kita melihat atau mendengar soal benda atau hal tersebut. Selama di sana saya dan teman-teman banyak mengikuti diskusi warga sekitar. Saya juga diajak ke pantai Roban, di sana saya mencicipi kerang (apa ya namanya), yang memang belum pernah saya temui. Bentuknya pipih, warna kulit kerangnya peach, dagingnya kenyal. Katanya sekilo bisa mencapi 200 ribu. Wow.
Camp preparation
Meributkan rute jalan
Hari terakhir saya camping dengan teman-teman. Camping: hobi saya dalam setahun terakhir. Mau dimanapun yang penting outdoor, saya suka sekali camping. Tidur menempel dengan tanah tempat manusia tumbuh dan dikubur saat mati. Saya satu tenda dengan dua orang lain dan kami banyak bergosip (eh). Saat 3 orang teman lain yang akan menempati tenda yang satu lagi datang, kami membuat api unggun. Apa yang bisa kami bakar, kami bakar. Kami membakar pisang, juga membakar wafer Tango. Haha. Kami tidak mendapatkan nasi, lalu kami membakar ikan bandeng untuk dimakan bersama. Setelah malam yang penuh dengan tawa, kami kembali ke tenda untuk tidur.

Bakar bandeng
Insight: Dua filosofi yang saya dapat di sini. Yang pertama dari tuan rumah saya yang begitu baik, saat dia akan pergi menjumpai nelayan di Roban. Ia mengganti baju batik dan celana bahannya dengan kaos dan celana pendek seperti Bob Sadino. "Kalo mau ketemu orang kecil coba pakai baju yang serupa dengan mereka." Saya mengartikan "baju" di sini lebih luas. Pakailah tutur mereka, pakailah kultur mereka. Disambung filosofi berikutnya dari seorang pemelihara sebuah jaringan di sana, yang diceritakan ulang oleh koordinator saya: "merawat jaringan itu bagai menyemai bibit cabai. Kita bisa menemukan bijinya dengan murah, bahkan gratis dan tercecer di jalan. Namun ketika kita merawatnya, kita butuh pupuk, air, dan tanah dan itu yang membuatnya mahal." Tafsiran saya begini: Bukan soal kita bisa mengajak siapa, berapa, atau apa dalam sebuah jaringan. Tapi soal bagaimana kita merawatnya hingga menjadi jaringan yang kuat.


Mudik @Brebes, 30 Agustus-2 September 2011
Tahu aci Tegal
Tradisi mudik mungkin hanya di Indonesia. Saya tergolong yang berlebaran hari Selasa, 30 Agustus. Seusai shalat ied saya langsung berangkat ke Brebes, kampung orang tua saya. Saya juga sempat mampir ke Tegal untuk wisata kuliner. Hehe.
Jalan menuju Brebes
Meski 18 tahun saya mengikuti tradisi ini, ada banyak hal yang baru saya alami. Saya naik ke atas genteng rumah nenek saya, saya mengobrol banyak dengan ayah saya di mobil (sebelumnya saya selalu tidur di mobil), saya diajak nenek dari ayah ke langgar, hanya berdua, dan banyak bercerita, saya ditanya kakek saya soal keterlibatan di organisasi. Mungkin hal ini biasa, tapi tidak bagi saya. Setahun lalu saya hanya seorang anak pendiam yang maunya ikut kakak kemana-mana, dan tidak suka bicara.

Insight: Ada yang merubah saya setahun belakangan. Saya tidak tahu apa, tapi membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik.


JJS @Baturraden, 1 September 2011
Lereng G. Slamet
Gunung Slamet. Gunung yang katanya anak mapala ui medannya berat dan sulit didaki. Saya pun mengajak ayah saya berkunjung ke lerengnya: Baturraden. Saya justru amat menikmati perjalanan ke sana, menikmati bagaimana kaki Gunung Slamet memberikan begitu banyak untuk petani, dan kita yang memakan hasilnya. Listrik pun warga sudah mandiri, dengan sumber mikrohidro. Lereng gunung yang selalu memberikan berjuta pesona, dan mungkin harus dibayar ketika gunung itu memuntahkan kandungannya.

Insight: Teringat apa kata teman kakak saya saat Merapi meletus, "mungkin Merapi bukannya marah. Ia hanya ingin menyuburkan kembali tanah di bawahnya." Sebuah pemikiran menakjubkan yang kembali menyadarkan saya, bahwa semesta punya keseimbangan sendiri. Pertanyaannya: pantaskah kita merusak keseimbangan itu?


Ranu kumbolo @Semeru, 3-4 September 2011
Ranu Kumbolo
Saya mungkin tidak akan bercerita banyak, butuh satu halaman khusus untuk cerita soal ini. Tapi pada intinya, ini pertama kalinya saya benar-benar merasakan hiking. Selama ini kan saya cuma naik ke camp ground yang sudah di set dan mungkin hanya memakan 1-1.5 jam perjalanan. Namun ini berbeda. Sejak saya terinspirasi Soe Hok Gie, novel 5cm, NatGeo edisi "55 pendakian terindah", dan cerita keagungan Mahameru, Semeru menjadi tempat impian saya selama satu tahun terakhir. Dan yang mewujudkannya juga tidak kalah hebat dengan tempat itu. Terima kasih buat semua, yang sudah mengantar saya, dan mendoakan saya selamat sampai tujuan via telfon dan sms.

Insight: Saya pengen nikah di Semeru! huahahahha.

Mungkin sekian liburan semester 2 saya. Sangat, amat, berkesan. Lebih dari apa yang bisa sekedar saya tulis di blog ini. Ah, apalah artinya jika kamu hanya membaca blog saya dan tidak mencobanya sendiri? Take your first step now :)

"A Thousand miles journey begin with the first step." [Virgil]

You Might Also Like

4 comments

Let's give me a feedback!