Langit yang Sama: Halimun dan Krakatau

Wednesday, October 05, 2011

Saya suka camping. Suka sekali. Bahkan saat ada hotel atau penginapan untuk bernaung, jika ada tenda saja, saya memilih untuk camping. Buat saya, camping menunjukkan banyak hal. Kalau kata dosen saya, orang paling jenius adalah orang yang paling adaptif untuk bertahan hidup. Tingginya IQ menunjukkan seberapa besar kemampuan seseorang untuk mampu memecahkan masalah. Nah, orang yang paling adaptif tersebut adalah orang yang mampu dengan cepat dan tepat memecahkan masalah, setidaknya menruut pemahaman saya. Dengan camping, kita bisa tahu, mana orang yang mampu adaptif terhadap lingkungan baru, dan dengan cepat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya di tempat-tempat baru. Bukan hanya berdamai dengan alam, namun juga berdamai dengan masyarakat sekitar.

Berikut dua pengalaman terakhir saya ke kawasan atau gunung. Berbeda tujuan, namun tanah dan langit yang sama.

Kawasan Halimun, Gunung Salak, Sukabumi - Gunung Bunder, Bogor

Spot 3
Sumber Air
Saya terjebak dalam kepanitiaan PsyCamp tahun ini. Jika sebelumnya pada PsyCamp tahun lalu saya dengan senang hati post tentang kegembiraan saya bisa mengikutinya, mungkin tahun ini saya bisa merasakan sulitnya menjadi panitia. Meski bukan job description saya, saya ahirnya membantu survey camping ini. Berhubung saya suka sekali camping, jadi ga ada salahnya membantu teman saya di bidang Transportasi, Keamanan, dan Pertendaan untuk survey. Kita bertiga survey ke tiga spot campsite. Salah satunya di Gunung Halimun, dan mirip sama tempat syuting Twilight! Hahahah.
Sungai

Spot 1
 Saya berkali-kali berhenti di sumber-sumber airnya, setidaknya merasakan air yang tidak akan bisa saya rasakan lagi di perkotaan. Bukan soal jernihnya. Mungkin iya. Tapi air yang mengalir di sini terasa berbeda, begitu dingin dan menyejukkan.

The View
Meski spot-spot ini akhirnya kurang memenuhi sayarat yang diminta oleh Tim  Advance PsyCamp, akhirnya partner saya punya ide untuk tetap camping di sekitar sini bersama organisasi kesayangan saya, Solar Generation Indonesia. Gerakan anak-anak muda pecinta lingkungan yang bergerak di isu iklim dan energi. Kami berencana untuk mengadakan Eco-Camp lagi seperti di Rainbow Gathering di Ranca Upas, Bandung. Bukan pecinta alam namanya kalo kerjaannya merokok, buang puntung di gunung, meninggalkan berbagai macam sampah, dan merusak ekosistem di sana. Pecinta alam bukan dewa yang bisa mengembalikan ekosistem hutan. Saya rasa para pecinta alam bisa cukup bijak menyikapi tulisan saya ini. hehe.
Spot 2

Bunga Puspa
 Anehnya, jika memasuki kawasan seperti ini saya bisa merasa sudah memijak belahan bumi yang lain, dengan hamparan rumput dan pohon yang terbiak alami, udara yang seolah tersaring dengan baik, dan air yang seolah baru saja keluar dari kulkas, terakhir: langit yang seperti memiliki filter dari langit-langit yang ada di perkotaan. Funny, eh? Padahal saya tahu benar, ini masih bumi yang sama, masih tanah yang sama, dan masih langit yang sama. Belum lagi di sana saya menjumpai salah satu tanaman yang memang sangat saya ingin temukan : Puspa. Asal nama saya berasal dari sini. Jika anda punya Alfalink, coba input kata Puspita di bagian bahasa Indonesia dan terjemahkan ke Bahasa Inggris: Flower. Itulah sebabnya, saya penasaran dengan bunga yang punya akar nama yang sama dengan saya. Di jalan menuju campsite, banyak bunga puspa bertebaran sepanjang jalan. Puspa ini adalah bunga dari pohon besar. Anggun, dan kokoh.

Gunung Krakatau dan sekitarnya
Campsite
Berawal dari Terminal Kampung Rambutan, saya dan teman-teman baru berangkat menuju Merak, lalu ke Bakauheni, Lampung. Dari sana, kami langsung menuju Canti dengan angkot dan perahu menuju Pulau Sebesi, tempat kami akan menginap. Teman yang sudah berkeluarga memilih homestay sementara saya, camping pastinya. Namun sebelumnya, kami snorkeling di beberapa spot dan terakhir yang paling berkesan adalah Pulau Umang-umang. Banyak sekali umang-umang di sini, dengan cangkang yang cantik-cantik. Saya menemukan habitat clownfish hanya berjarak 10-15 meter dari bibir pantai! Saya juga sempat bermain dengan mereka. Sesekali clownfish yang berbadan besar meliuk di dekat tangan saya.
 
Saya, Hadi, dan teman baru saya, Bryan, anak arsitektur UGM memilih camp di pinggir pantai pulau Sebesi. Kami membagi tugas. Setelah kemah berdiri, Hadi mencari kayu, Bryan (ngapain sih dia?) mematahkan kayu kecil-kecil, dan nantinya saya yang memasak. Tadinya saya pikir Bryan ini orangnya ga asik, tapi setelah kami mulai saling mencaci, suasana pun cair. Kita bertiga tidak merokok. Semakin membuat kondusif. Malam berlalu cepat. Nomo, teman Hadi yang dulu bertemu di Merbabu, join dan kami banyak saling bercerita. Agak larut, teman lain yang mau camping juga datang. Saya sangat capek, dan akhirnya tidur.

Esok paginya kami semua langsung berangkat ke Gunung Anak Krakatau. Krakatau adalah gunung vulkanik di tengah laut yang pernah meletus hebat pada tanggal 27 Agustus tahun 1883. Letusan hebat ini diperkirakan 13.000 kali lebih hebat dari bom Hiroshima dan Nagasaki. Pasca erupsi, semburannya membuat sinar bulan menjadi biru dan matahari keunguan. Pecahannya menjadi pulau Rakata, Panjang, dan Pulau Sertung. Kemudian Anak Krakatau tumbuh dan sekarang mencapai ketinggian 315 meter (pengukuran tahun 2005). Kami mulai naik ke Krakatau pagi itu. Kondisi saya amat fit, jauh lebih fit dibanding ke Semeru. Namun, sampai di kaki gunung, ketika saya mencoba menengok ke atas, yang saya dapatkan adalah pemandangan ini:

Menengok ke atas, bukan menatap ke depan
Belerang Anak Krakatau
Dari atas
 Begitu curam dan berpasirnya medan, sesaat menyurutkan semangat. Tapi saya bertekad untuk tidak menengok ke belakang sama sekali. Seperti yang Dori katakan pada Nemo: When life gets down, Just keep swimming. Saya harus keep moving on. Dan voila. Saya sampai di atas. Perempuan pertama dari rombongan saya. tanpa kehausan, tanpa kelaparan. Foto-foto di samping adalah pemandangan dari atas Anak Krakatau.

Laguna Cabe
Dari situ kami langsung menuju Laguna Cabe untuk snorkeling lagi. Wow. Awesome. Bawalah malkist crackers, pecahkan di bawah laut, hamburkan, dan ikan-ikan berwarna-warni akan menghampiri anda tanpa rasa takut. Beberapa kali saya dikelilingi ikan-ikan berwarna-warni, tak jarang berukuran besar. Airnya nyaman. Tidak lengket. Kata partner saya, air laut yang tidak lengket menunjukkan ekosistem yang sehat dari laut tersebut. Ah, rasanya tidak ingin saya pulang. Padahal saat itu hari Minggu, dan Seninnya saya harus menghadapi Kuis Metodologi penelitian dan Statistika 2. Tapi lalu kenapa? Apa ciptaan Tuhan harus terkalahkan dengan ketakutan kuis buatan manusia? Tidak munafik, saya bawa buku Metpenstat saya ke sana. Buku catatan kesayangan saya. Saya hanya membacanya 15 menit sebelum camping, namun ternyata saya dapat melalui kuisnya tanpa kesulitan berarti.

Saat saya membuat tulisan ini, saya berada di Lab Komputer Fakultas saya. Di samping jendela besar. Saya menatap langitnya sesekali kala kehabisan ide tulisan. Masih sama. Biru keputihan. Dengan suara-suara kendaraan bermotor. Tapi rasanya saya ingin pulang cepat ke rumah Jumat ini. Berbeda. Langitnya terasa berbeda. Saya ingin pulang melihatnya. Tapi di Krakatau atau di Halimun, saya tidak ingin pulang melihatnya, saya merasa sudah di rumah. Mungkin Halimun dan Krakatau berada di tanah yang berbeda, Halimun di gunung rindang, Krakatau di tengah laut yang panas. Tapi tidak salah kan, saya katakan, mereka masih berada di langit yang sama? Kita semua berada di bawah naungan langit yang sama, namun mengapa, semua terasa begitu berbeda?
"Mountains are not fair or unfair. They are dangerous." [Eiger]

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!