Saya mengenal konsep legowo bukan dari orang tua. Pertama kali adalah buku PPKN semasa SMP yang menuliskan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kriteria legowo. Saya cuma mengerti, legowo : lega, ikhlas. Menerima apa adanya. Tanpa banyak bertanya, tanpa banyak menuntut, apalagi banyak komentar. Dari kecil suasana tersebut akrab di keluarga saya. "Gak usah banyak tanya," kata ayah saya. Tapi memang ternyata ada saatnya saya mengerti kenapa ayah saya dulu melakukan hal tersebut. Saya hanya butuh waktu. Mungkin itulah konsep berpikir ayah saya.

Saya tidak pernah dididik secara verbal eksplisit "kamu harus legowo" oleh siapapun. Sehingga saya tidak mengerti konsep legowo, setidaknya sampai hari kamis 3 minggu yang lalu. Dosen psikologi sosial saya adalah orang yang tidak terpaku pada budaya namun ia memang tumbuh dalam suasana budaya keluarga Jawa yang amat kental. Maka katanya pada siang itu, 'legowo itu bagi orang Jawa bukannya ikhlas menerima begitu saja apapun bentuk perlakuan orang lain. Legowo itu artinya ketika orang berbuat buruk pada kita, kita berkata, ya kamu boleh melakukan ini pada saya sekarang, tapi jangan salahkan saya kalau suatu saat nanti ada orang yang memperlakukan kamu seperti ini juga.'

Siang itu saya terenyuh. Dari kata legowo, saya dapat memaknai arti karma yang sebenarnya. Di zaman modern ini semua orang makin meninggalkan budaya, tetapi menruut saya justru saat inilah kita butuh budaya, pakem-pakem perilaku, mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Maka ketika kita mendapat perilaku kurang menyenangkan, berkacalah: mungkin kita dulu pernah melakukan hal yang sama pada orang lain, lalu minta maaflah.

Seperti yang ayah saya lakukan, tidak perlu banyak bertanya, waktu yang akan menjawab. Legowo mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam bertingkah laku dan bertutur kata.