I Love You, Borneo!

Friday, March 16, 2012

Kangen juga menulis blog.
Saya baru pulang minggu lalu dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Kota mahal? Ya, memang. Tapi memang dibayar dengan sistem kota yang tertata rapi, bersih, dan tertib. Sebenarnya amat sayang jika disandingkan dengan lalu-lalang tongkang yang begitu angkuh mengangkut hasil eksploitasi hutan Kalimantan.

Begitu masih di atas pesawat, saya sudah melihat tanah yang coak akibat pertambangan:

Setelah menginjak Borneo, tanah yang saya impikan dari lama, saya melihat betapa rapinya kota ini. TIC (Tourism Information Center) yang penuh keramahan dan informatif, orang menyebrang di zebra cross, bahkan di angkot saja ada tempat sampah! Jakarta perlu mencontoh. Orang-orangnya jujur, kita tampak dari Jakarta tapi tarif yang ada tetap sama (standar biasa).

Lautnya ditutup untuk proyek (yang mencurigakan). Saya agak kecewa tidak bisa menikmati pantai Borneo. Tapi tak apa, tetap menyenangkan. Saya berada di sini sebenarnya untuk melihat potensi energi untuk proyek bulan November yang semoga saja lolos. Meski dari hasil pergi ini bisa saya simpulkan dana estimasi sangat kurang, saya tetap ga menyesal pergi ke sana. Saya juga menyempatkan pergi ke Pantai Melawai, dan ternyata brosur dari TIC tidak berbohong, sunset di Melawai dengan siluet Pulau Tukung sangat bagus.


Pak Agus
Tapi bukan hal-hal mewah macam itu yang membuat perjalanan saya berkesan. Hari kedua merupakan hari yang paling membuat saya terkesan. Pagi hari saya langsung berangkat menuju daerah konservasi Sungai Wain, tempat perlindungan terakhir bagi para beruang madu, macan, babi hutan, brurung-burung langka. Di sana saya disambut Pak Agus, seorang yang memiliki dedikasi tinggi di Sungai Wain ini. Berikut foto-foto bagaimana konservasi yang diolah oleh Pak Agus, dengan sedikit sumber daya manusia.


Begitu masuk ke konservasi ini tanpa dipungut biaya apapun, yang terbesit di otak saya adalah lokasi shooting film Anaconda. Haha. Dengan berjalan di jembatan di atas sungainya langsung, saya membayangkan ada sesuatu yang tiba-tiba keluar dari sungai kehitaman tersebut. Kami masuk dalam rombongan anak SMP 18 Kota Balikpapan. Saya berjalan tepat di belakang Pak Agus, yang berjalan dengan begitu tenang karena kalau kita berisik maka kita mengganggu mereka yang tinggal di sana.


Sambil sedikit mengobrol tentang aktivitas pecinta alam, saya melihat betapa tingginya pohon-pohon di sana menjulang. Contohnya pohon yang khas di Kalimantan: pohon ulin. Dengan kecepatan tumbuh sepanjang 1 cm saja setahunnya, ia bertransformasi menjadi pohon yang amat kokoh namun sayangnya menjadi incaran pembalak liar. Mengingatkan saya pada quotes Mind how much time does it take to grow a tree and how many of them you need.


Ekosistem di sana sangat alami sebagai hutan tropis dataran rendah Kalimantan. Kita bisa melihat jejak-jejak kancil, babi hutan, buah yang dimakan landak, sarang rayap yang dimakan beruang, buah palem yang dimakan orang utan, dan banyak lainnya. Hutan konservasi ini memiliki 3 jalur, jalur SD, SMP, dan SMA. Ada pula jalur pendidikan. Perbedaannya di medan dan jarak tempuh. Kalau kita memakai sendal, kita akan disarankan ke jalur SD karena tidak begitu berat. Saya sebenarnya ingin mencoba trekking jalur terpanjang, tapi karena kami bersama dengan murid SMP, maka kami trekking ke jalur sedang.


Sekitar 1 jam, kami duduk untuk mengecek pacet. Ternyata saya dapat satu di kaki kiri. Belum begitu besar, saya langsung meminta partner saya untuk memindahkannya. Anak SMP 18 banyak sekali mendapat pacet, bahkan hampir penuh telapak kakinya sebab ia memakai sepatu skateboard yang memberikan celah untuk pacet memasuki kakinya. Sembari membersihkan, saya dan partner mengobrol soal konservasi ini, pendanaan, dan ternyata Pak Agus adalah tim REDD+! REDD adalah Reducting Emissions from Deforestation and Forest Degradation, sebuah skema pendanaan setelah ditandatanginya Letter of Intent Indonesia - Norwegia. Wah, jika saya tidak ke sini, mungkin selamanya saya akan menganggap tim REDD bukanlah orang-orang lapangan.


Lihat kera di foto ini?


 Kembali ke kota menjadi masalah lain. Tidak ada angkutan menuju jalan besar. Maka saya memutuskan istirahat dulu sejenak di warung warga untuk minum es anggur dan mencoba kue sagu. Tiba-tiba, saat kami memutuskan untuk berjalan sejauh 6 kilo ke depan di tengah panasnya Balikpapan, lewatlah keluarga yang amat baik hati. Mereka mempersilakan kami menumpang. Mereka sangat baik, dan mereka berasal dari Flores. Kami berbicara banyak, sampai kehabisan topik. Mereka menawari orang lain untuk menumpang sampai ke kota. Bahkan, saya diantarkan ke dekat pasar penjual kerajinan Kalimantan! Bagaimana ramahnya orang Kalimantan mungkin sesuatu yang tidak pernah terpikir bagi saya sebelumnya. Karena selama ini saya sudah berpikir bagaimana pemerintah begitu mudah memberikan alih fungsi lahan hutan Kalimantan untuk pengusaha-pengusaha tak bertanggung jawab. Dan kemudian saya menunggu pesawat malam di bandara, saya kaget karena mendapat sms dari Novi, anak perempuan Keluarga Pak Hubertus, yang memberi kami tumpangan, untuk mengucapkan selamat jalan dan sampai jumpa lagi. Sungguh, pengalaman yang berharga.

Goodbye Borneo, it's good to see your ancient forest, the treasure that I promise to keep. 

"Travel, it leaves you speechless, and turns you into a storyteller." [Ibn Batuta]

You Might Also Like

2 comments

Let's give me a feedback!