Just Let it Go

Tuesday, April 17, 2012

Hanya sebuah pemikiran ketika saya mengenakan sepatu kepercayaan diri saya hari ini.

Sepatu ini dibelikan ayah saya beberapa minggu lalu, setelah sudah lebih dari setahun saya tidak pernah meminta dibelikan barang-barang keperluan pribadi. Seperti kebanyakan sepatu wanita pada umumnya, sepatu ini menyebabkan saya lecet di tiga bagian kaki, di belakang, di kanan dekat jari dan di kiri juga. Saat pertama kali memakainya, saya berjanji tidak akan memakainya kembali.

Namun apa daya, kemudian saya harus menghadap beberapa orang besar di fakultas Teknik sehingga saya berpikir harus memakai sepatu yang sedikit formal, untuk menghormati posisi akademis mereka. Kedua kali saya memakainya, lecet yang sama masih meninggalkan perih tak tertahankan. Ketiga kalinya, perih itu semakin mengikis kulit.

Namun hari ini, ketika saya harus menghadap ketua program studi saya, saya kembali memakainya di pagi hari. Ujung kelingking saya masih sakit, namun saya sudah bisa berlari dengan sepatu ini. Saya senang akhirnya dengan begitu nyaman saya bisa menggunakan sepatu pemberian lelaki yang saya sayang.

Kemudian saya teringat kembali pada masalah saya sekarang. Bagaimana rasanya ikhlas itu.

Setiap orang bilang, yasudah. Relakan saja. Kamu bukan Tuhan, dan bukan juga Ibunya. Dia berhak memilih pergi, jika Tuhan memang belum mau dia mati, dia nggak akan mati semudah itu kok. Tapi jika memang misinya di dunia sudah selesai, ya pasti Tuhan bakal ngambil dia lagi.

Dan inilah filosofi saya soal ikhlas. Sama seperti memakai sepatu baru. Mungkin awalnya kita akan sakit, sampai kedua, ketiga, keempat...

Kita memaksa untuk left behind, menjalani hidup yang baru. Sakit, jelas. Meninggalkan sesuatu yang bagi kita begitu amat berharga. Ikhlas itu tidak semudah diucapkan dan kemudian berlalu begitu saja. Say sorry is not enough. Ikhlas bukan sekedar seeprti membuang sampah, yang memang sudah seharusnya kita buang. Bukan sampah yang kita akan ikhlaskan, namun sesuatu yang berharga. Trauma itu wajar, maka ketika pertama kali kita coba hidup baru, perih itu masih ada, dan ada, lalu masih ada.

Tapi akan tiba suatu titik dimana semuanya berlalu. Luka itu tidak akan hilang. Tidak pernah. Bekas lecet di kaki saya masih akan ada. Hanya perihnya yang kemudian terlupakan.

So, let it go. Akan tiba masanya setiap orang berlari, menentukan path-nya masing-masing untuk menjalani pilihan mereka. Kita tidak akan bisa memaksa mereka berhenti, bahkan jika kita adalah orang tua mereka. Setiap orang berhak atas hidup mereka.

Lalu jika kita ditinggalkan, kita juga bisa memilih. Tidak berada di manapun, juga pilihan. Menikah, punya anak, sekolah, semua pilihan. Namun sebaliknya, tidak menikah, tidak punya anak, dan tidak ingin sekolah pun, juga sebuah pilihan.

Kita juga suatu saat akan mengangkat punggung kita dan bersiap berlari.

You Might Also Like

2 comments

Let's give me a feedback!