Saatnya Untuk Sendiri (Dulu)

Friday, July 06, 2012

"Saya nggak akan pergi keluar negeri kecuali ibadah, belajar, dan bekerja. Seumur hidup nggak akan habis kalau kita menjelajahi Indonesia, dan saya cinta negeri ini dengan segala kebodohan pemerintahnya..."
"Menyendiri adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, relaksasi paling menyenangkan adalah sendirian dan merenungkan banyak hal..."

Saya baru saja pulang dari Kamboja untuk mengikuti Architectural Field Trip selama 5 hari. Di sana saya berhasil ngulik banyak hal, sejarah, intrik politik, dan kebudayaan. Salah satu budaya kunci Indonesia juga berasal dari sana, ada banyak hal yang serupa ketika dulu saya masih belajar Tari Bali, dan saya temukan di Kamboja.


Di atas adalah salah satu sudut bangunan Royal Palace of Cambodia, di mana Raja akan naik ke bangunan tersebut untuk berpidato. Di luar sana, bangunan langsung menghadap jalan sehingga rakyat dapat berkumpul untuk mendengarkan titah Raja. Kadang saya penasaran dengan negara-negara dengan sistem monarki konstitusional dan satu pertanyaan muncul: buat apalagi masih ada raja jika ia hanya menjadi simbol negara?

Ternyata jawabannya ada di Royal Palace tersebut: Raja adalah pemersatu negeri. Setiap orang berhak berdemokrasi, berpartai politik, ber-oposisi satu sama lain, namun harus ada sebuah simbol pemersatu bangsa dikala negeri dalam kebingungan. Ialah, Sang Raja.


Bicara Kamboja, bicara  Angkor Wat. Dulu, saya jatuh cinta dengan Angkor Wat karena sensasi akar tanaman rambatnya yang luar biasa. Kini semuanya lenyap tak berbekas. Nampaknya ada renovasi besar-besaran di tempat yang masih menjadi tempat ibadah. Kamboja amat mirip dengan Indonesia. Sebelumnya, negeri ini adalah negeri Hindhu, sehingga arsitekturalnya terkesan mirip Prambanan, dan Kamboja juga mengenal kisah Ramayana yang ada dalam Kitab Mahabarata Hindhu.  Kemudian, ajaran Buddha datang dan mengubah negara menjadi negara dengan populasi 80% warganya adalah Buddha. Namun hingga kini, peninggalan Hindhu itu masih ada. Bedanya, Indonesia berubah lagi menjadi Islam dengan kedatangan para pedagang dari Gujarat dan Arab, mereka tidak. Kamboja tidak memiliki batas laut dan tidak terkenal dengan pelayaran atau dunia maritim, sementara para pedagang Islam datang dari dunia pelayaran.


Mungkin saya seharusnya pergi ke sini bersama salah dua dari sahabat saya, Faizal Akbar dan Widya. Teman bertukar cerita tentang tari-tari Bali dan koreografi tari semasa SMA. Di sini saya menyaksikan eksotisme yang sama, perbedaannya adalah tari Bali seperti tari Kamboja yang dipercepat 2x lipat. Tari Kamboja memiliki ritme yang jauh lebih lambat dan komposisi musik yang tidak lebih kaya dari tari Bali.


Salah satu kuil di areal Angkor Wat, kuil di atas bukit adalah salah satu sisi terbaik menikmati senja. Karakter batuan pada candi Angkor Wat tidak lebih kuat dari Borobudhur, sehingga kerusakan cepat terjadi dan negeri yang masih seperti Indonesia tahun 60-an ini masih dalam proses mengejar ketertinggalan mereka dalam renovasi cagar budaya.


Sebagai pengejar senja, saya cukup puas melihat siluet candi yang sebenarnya dilarang untuk dinaiki (atas). Tapi beberapa turis asing saya lihat masih mendakinya, padahal papan penunjuk secara jelas melarang turis untuk naik karena bangunan sudah rapuh. Saya juga ingin naik, tapi saya menghormati peraturan sekitar.

Perjalanan kali ini memang perjalanan bersama rombongan, tapi saya seperti traveling sendiri. Membawa kamera saku kemana-mana, sendirian mendengarkan guide rombongan. Sendirian membawa daypack deuter yang selalu menemani saya, sendirian tanpa kantong belanjaan berlimpah. Sendirian mengobrol dengan Joe, traveler dari UK yang jatuh cinta dengan Toba dan Flores milik Indonesia, sendirian mencari kain tenun asli lokal. Pertanyaan itu muncul, semakin sering muncul setelah membaca blog teman saya:

Kapan ya saya terakhir kali menikmati waktu sendirian, solo traveling, benar-benar sendirian?

Dulu, semasa awal kuliah, tiap weekend saya bisa pergi ke toko buku bekas di Senen, membeli National Geographic usang seharga 10.000 rupiah, membacanya sendiri di kamar, menimbun aneka jajanan yang saya habiskan sendiri, bermain dengan hamster-hamster kesayangan saya.

Sekarang?

Tiap weekend dengan laporan penelitian, traveling dengan partner saya, sudah ga ada koleksi buku bekas baru lagi di kamar kos saya, tidak pernah sendirian di kamar kos lagi, sekian lama tidak bisa jajan makanan unik lagi, bahkan dari 9 hamster saya terpaksa menghibahkannya sehingga bersisa 1 hamster saja, karena tidak punya waktu untuk mengurusnya.

Saya butuh waktu sendirian. Untuk menjawab dan menemukan sendiri berjuta pertanyaan yang tidak satupun orang lain dapat menjawabnya. Sendirian saja, hilang di tengah deru kota dan sepinya langkah kaki. Ya, hanya sepasang langkah kaki. Saya bisa gila jika pertanyaan-pertanyaan di kepala saya tidak kunjung dijawab.

Saya minta kerendahan hati bagi setiap orang untuk membiarkan saya sendiri dulu.
Saya akan kembali,

...entah kapan.


"Takkan lagi kita mesti jauh melangkah, nikmatilah lara, untuk sementara.. Sementara saja..." [Float]

You Might Also Like

4 comments

  1. aaah, gue juga lagi mau nyari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gue nih Tek

    ReplyDelete
  2. Ciah, anak muda... ;D

    Menyendirinya jangan kelamaan su, ga enak, hahahaha...

    ReplyDelete
  3. I am sad know you want to be alone right now. But, I will respect it. You might text or talk, also meet me if you need ya.

    Your bro,
    PSO

    ReplyDelete

Let's give me a feedback!