Kaltim Series: Antara Para Tepian Sungai

Tuesday, August 07, 2012

Saya membuka mata saya dan langsung terbangun segar. Medan yang telah ditempuh membuat saya keletihan dan tertidur pulas. Long Anai, saya sudah tiba. Kini di depan mata saya terhampar rumah panjang yang sudah lama saya impikan untuk melihatnya secara langsung. Ukiran khas suku Dayak berwarna merah, putih, dan kuning tidak membiarkan saya tertidur lagi, meski barang lima menit.


“Ukiran ini bermakna satu darah,” ujar Kepala Desa Long Anai yang dengan ramah menyambut kami. Saya dan rekan-rekan langsung disuguhi tarian selamat datang suku Dayak Kenyah. Hentak kaki dan musik yang pelan mengalun membawa saya menepis berjuta cerita menakutkan dari suku yang paling dikenal dari Pulau Borneo ini. Mereka begitu ramah dan menyenangkan, juga tidak segan berbincang mengenai pernikahan dan perceraian, sekalipun baru bertemu saat itu.

Long Anai adalah sebuah desa dengan komposisi penduduk 99% adalah penduduk dari suku Dayak Kenyah. Mereka beragama Kristen dan gereja desa dibangun tepat di depan lamin, rumah panjang khas suku Dayak. Kini, mereka tidak lagi tinggal di lamin bersama keluarga lain. Tiap keluarga telah memiliki rumah masing-masing. Pendidikan sudah sampai pada taraf Sekolah Menengah Kejuruan, meski begitu setiap keluarga masih memiliki ladang untuk bercocok tanam. 

Malam itu, menu berbuka puasa saya adalah sayur daun paku yang direbus, terong goreng tepung, ayam goreng, sambal, dan tentunya nasi putih hangat yang dibalut dengan daun pisang. Nikmat sekali. Di tengah para turis pemerhati lingkungan dari Belgia, saya meyantap makan malam saya. Airnya pun air asli dari mata air sekitar.

Tak jauh dari sana, terdapat bukit menjulang yang mengundang tanya dari saya. Ada apa di balik bukit itu?
Ah ya, ini Kalimantan Timur, Bung. Tempat di mana mungkin akan kita temukan pertambangan di sisi kanan kiri jalan, conveyor raksasa pengangkut batubara yang tidak hentinya memasok sang emas hitam ke kapal di Sungai Mahakam, pit-pit besar yang akan tertinggal menjadi danau beracun. Ini adalah provinsi terluas kedua di Indonesia, satu setengah kali pulau Jawa, dan 25% dari luas daerahnya sedang dikeruk menuju kehancuran.

Apa yang kau tahu tentang Kalimantan? Mungkin sama dengan saya. Hutan, sungai-sungai besar, dan suku Dayak. Suku yang kebanyakan mendiami aliran atau tepian sungai-sungai di alam rimba Kalimantan. Tentunya wajar, karena sungai adalah asal peradaban. Dan disinilah, peradaban Kalimantan dimulai. Peradaban sungai besar seperti Kapuas di Kalimantan Barat atau Mahakam di Kalimantan Timur. Namun peradaban itu sudah hampir usai.

Dibalik bukit yang ada di belakang desa Long Anai, terdapat pengerukan luar biasa yang mengoyak jantung Kalimantan. Proses ini tidak berhenti selama 24 jam non-stop, atau perusahaan akan merugi. Batubara, atau emas hitam telah menjadi komoditas yang sudah identik dengan provinsi Kalimantan Timur, sang Swarga Bara, atau Surga-nya Batubara. Mahakam pun bukan lagi jadi pusat peradaban suku Dayak, namun telah menjadi pusat peradaban pengangkutan batubara.

Menyusuri sungai Mahakam dari tepinya, dan conveyor-conveyor perusahaan terus menggulingkan batubara yang siap dipasok untuk PLTU lokal maupun kebutuhan internasional. Apa yang telah mereka bawa untuk para manusia di tepian sungai selain kehancuran? Semua juga mengerti, bahwa tambang batubara telah merusak kualitas air, tanah, udara, dan tanaman. Ladang mati, air beracun. Kejadian anak tenggelam di danau bekas pit batubara pun sudah menjadi buah bibir.

Namun conveyor di tepi Sungai Mahakam itu tidak berhenti. Ia terus mengalirkan sang emas hitam, yang katanya untuk kemajuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saya bahkan tidak tahu, apakah para ekonom tersebut sudah menghitung pula dampaknya, kehancuran sebuah peradaban lampau Kalimantan.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!