Kaltim Series: Mereka Menunggu

Tuesday, August 07, 2012

“Kami sangat menyesalkan, mengapa protes kami yang tanpa kekerasan ini Anda sebut ‘tidak bijaksana, tunggulah waktunya belum tepat!’ Cobalah tunjukkan kepada kami kapan ‘Waktu yang tepat itu!’ Sebab bagi kami, keadilan yang terlalu lama ditunda-tunda adalah keadilan yang terus-menerus disangkal. Itulah sebabnya bagi kami, kata wait – yang nampak arif bagi Anda tapi getir bagi kami – sama artinya dengan never.” Surat Martin Luther King Jr. tersebut menggetirkan bagi saya selama beberapa lama saat memandang matanya. 


Namanya Ambon. Ia adalah orang utan jantan dewasa di Kebun Raya Samarinda. Kebun raya ini memiliki luas 300 hektar, hanya berbeda 12 hektar dari kampus saya, Universitas Indonesia di Depok. Dengan luas tersebut, seharusnya kawasan ini cukup memadai untuk menampung para satwa. Tapi nyatanya tidak. Saya melihat papan sebelum masuk daerah kebun raya yang memberitahukan bahwa tidak hanya ada satwa di dalam area kebun raya ini, namun juga kantor beberapa perusahaan pertambangan besar di dalamnya.

Ambon menatap saya lekat di balik jeruji kandangnya. Ia satu kandang dengan Debbie, seekor orang utan betina dewasa. Ambon sangat besar. Menurut papan informasi, berat orang utan jantan dewasa dapat mencapai 90 kilogram. Dua kali berat badan saya. Matanya memancarkan kekosongan. Ini bukan rumahnya, bukan tempatnya – pikir saya. Orang utan adalah pemakan tumbuh-tumbuhan khususnya buah dan biji-bijian di hutan liar. Tempat yang mungkin hanya sebesar kamar saya ini, sama sekali bukan tempat yang cocok untuknya.

Sang orang utan yang tadinya berada di pinggir kandang berpindah sehingga persis berhadapan dengan kami. Ia menggenggam erat jeruji besi dan mengangkat kakinya. Kata dosen saya, Ilmu Psikologi tidak hanya mempelajari manusia, namun juga binatang. Sampai saat ini, saya percaya binatang punya perasaan yang sama dengan kita. Hal yang membedakan manusia dengan binatang hanyalah kemampuan berpikir abstrak. Seluruh gestur yang Ambon tampilkan pada saya, menurut saya adalah teriakan minta tolong.

Saya lihat binatang lain. Sang beruang hitam, binatang ikon khas Kalimantan terduduk di tengah area bermainnya yang gersang, hanya ada rumput dan genangan air. Ia terduduk dan menunduk lemas bersama pasangannya. Sang merak tak mau beranjak dari tempatnya berdiri. Seekor orang utan muda juga terduduk. Menjulurkan tangannya kepada saya, namun saya tak dapat menjangkaunya karena jeruji ganda yang diberikan pihak kebun raya untuk mencegah pemberian makanan dari pengunjung.

Sampailah saya di sana: kandang Sang Raja Langit. Seekor Elang besar terdiam di pojok kandang yang tidak lebih dari 3 meter. Elang adalah Raja di ketinggian, ia bagai Angkatan Udara yang siap memangsa puluhan meter di bawah kakinya. Kemampuan itu adalah bentuk dari pertahanan dirinya, dan siapa kita, berhak mendahului kemampuan anugerah Sang Pencipta?

Teman saya bertaruh ia sudah kehilangan kemampuan berburunya. Tentu saja. Mungkin semua binatang di sini sudah kehilangan kemampuannya. Ini bukan salah pengelola kebun raya, sama sekali bukan. Mungkin saya akan melakukan hal yang sama dengan pihak kebun raya: memagari mereka agar mereka selamat dari buasnya kerakusan para pengusaha batubara dan pemerintah.

Kalimantan Timur telah kehilangan seperempat dari wilayahnya, termasuk hutan-hutannya untuk kepentingan pengerukan batubara. Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar dan seorang mahasiswa jurusan Kimia UI mengatakan bahwa penambang batubara itu seperti anak kecil yang memakan Oreo. Ia membuka lapisan atasnya, kemudian memakan lapisan krim putihnya, dan mengembalikan lapisan atasnya kembali ke asalnya. Saya hampir-hampir tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Mana janji para pengusaha batubara? Mereka bilang akan melakukan reklamasi tanah, nyatanya danau sedalam lebih dari 100 meter terhampar begitu banyak di Kalimantan Timur. Dari Samarinda sampai Melak, sampai-sampai ada anak yang menjadi korban tenggelam. Mereka bilang hutan akan kembali seperti semula. Apa yang saya saksikan di Melak, bekas pertambangan grup Banpu dari Thailand? Hanyalah padang ilalang yang tidak menghembuskan aroma kesuburan dan kehidupan. Lapisan krim tersebut sudah diambil, dijual untuk kepentingan asing, dan lapisan atasnya tidak akan pernah kembali seperti semula.

Setelah sepuluh menit menatapi Ambon dan Debbie, saya terbangun dari lamunan. Kata sebuah organisasi, akan ada waktu yang tepat untuk melepasliarkan para orang utan tersebut. Kata pemerintah, tunggulah sampai perekonomian Indonesia stabil. Apalagi dengan diluncurkannya MP3EI, Sumatera, Kalimantan, dan Papua belum akan dipensiunkan menjadi sumber pengerukan sumber daya atas nama perekonomian Indonesia. Apakah setelah itu baru kita akan menumbuhkan kembali hutan purba Indonesia, untuk membayar hutang “habitat” untuk mereka? Mustahil.

Waktu yang tepat? Omong kosong. Seperti kata Marthin Luther King Jr., ‘wait’ for you is ‘never’ for us.

You Might Also Like

2 comments

  1. Nice article... really gives the pressure and critics..
    But what should they do then if they themselves doesnt have what is needed to return it to normal? ...if the amount of money needed to restore it to normal is EQUAL to the amount of money to destroy and take the oreo cream?
    Do not take the cream or take it and leave it?

    ReplyDelete
  2. then don't change their home. they're not human, they can't do anything. they can't do campaigns like what we can do. we change their life, we change our life. earth needs them to keep the balance of it, so do us.
    so leave the cream, find another way. renewable energy is the answer.

    ReplyDelete

Let's give me a feedback!