Saat Tulisan Mengatakan Segalanya

Monday, June 17, 2013

Pertama kali saya membaca cerpen "Robohnya Surau Kami" adalah saat SMA, ketika iseng mengerjakan soal-soal latihan ujian masuk universitas. Setelah membaca saya cuma bengong. Again, life had questioned me.

Dalam cerpen itu, kita ditampar bahwa orang yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berdoa, berdzikir, dan memuji Tuhan belum tentu akan masuk surga. Tuhan akan meragukan keimanan umatNya justru ketika kita tidak melakukan apa-apa, hanya melakukan hal-hal individualis atas nama surga dan takut neraka, meninggalkan keluarga kita dalam kemelaratan, tidak bekerja untuk penerus kita agar mendapatkan pendidikan yang baik, membiarkan Indonesia yang tanahnya sudah diberi kemakmuran tapi kita membiarkan keuntungannya untuk asing.

Semalam saya membaca cerpen itu lagi di tengah kesendirian malam. Masih tetap merinding, jika saya harus menghadap Tuhan dan ditanya "Apa yang sudah kau lakukan untuk bangsamu?" semoga saya bisa menjawab, "saya baru bisa belajar Tuhan, belajar banyak hal untuk merah putih ini. Saya tidak ikut berdemo, bukan tidak mau membela rakyat miskin, namun nyatanya subsidi BBM harus segera dialihkan. Dialihkan, supaya orang mau naik transportasi umum. Meningkatnya demand akan transportasi umum akan diiringi dengan supply, supply masal akan menimbulkan harga yang bisa dimurahkan seperti prinsip negara China. Dialihkan, bukan untuk menjadi BLSM yang akan membuat manja negeri ini, tapi menjadi pendidikan dan kesehatan gratis dimana-mana, perbaikan infrastruktur. Tapi saya mengakui Tuhan, saya bukan siapa-siapa yang bisa mewujudkan hal itu."


Setelah menutup buku A.A. Navis, saya sedikit penasaran. Siapakah A.A. Navis ini? Bukankah dia adalah seorang Haji, namun di cerpennya justru ia mengkritik para Haji yang kerjanya hanya berdoa. Saya membuka halaman belakang. Ia adalah seorang Minang Islam (yang menurut stereotype saya harusnya ia taat), tapi mengkritik kondisi haji muslim. Namun yang menarik, ternyata ia mendapat pendidikan di INS Kayutanam dan pernah menjadi Kepala Pendidik di sana semasa hidupnya.


Pantas saja.
Pernah dengar INS Kayutanam? Salah satu institusi pendidikan yang kerap dibahas di kelas Psikologi Pendidikan, disandingkan dengan institusi-institusi bergengsi dari luar negeri seperti Montessori. Pendirinya, Engku Muhammad Syafei juga disandingkan dengan Ki Hadjar Dewantara dan Jean Piaget. INS Kayutanam adalah institusi yang mengedepankan pendidikan karakter dan mengajarkan siswanya berwirausaha bukan hanya mengejar akhirat. Prinsipnya "alam terkembang jadi guru, belajarlah dari alam dan pelajarilah alam itu" serta "jangan minta buah mangga kepada pohon rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis", "Jadilah engkau menjadi engkau". Sepertinya selain PL dan Gonzaga, jika saya punya anak (angkat - karena saya meragukan pernikahan) nanti, saya akan masukkan  dia ke INS Kayu tanam, kalau perlu boarding di sumatera dan saya tetap di Jakarta.

Wajar saja jika lulusannya, A.A. Navis menulis hal yang serupa dengan prinsip institusi tersebut.

Inilah yang saya suka dari membaca. Dulu saya pernah dapat kuliah yang inspiratif sekali, bahwa dari cerita rakyat setempat (folklore), kita dapat mengetahui sejarah sebuah daerah dan bagaimana kepercayaan berkembang. Konsep yang sama, jika kita membaca tulisan seseorang. Kita bisa tahu apa isi pemikirannya, bagaimana ia menyusun rationale, dan menyajikannya pada orang lain, bahkan sampai di mana ia bersekolah. Bagaimana tulisan bisa membawa saya untuk mengenal seseorang dalam sekali baca, dan bagaimana dulu orang lain bisa jatuh cinta pada saya hanya karena tulisan-tulisan di blog saya.

Lebih jauh lagi, kita bahkan bisa menelaah pencetus teori dari teori yang dibuatnya. Bahkan, bisa saja teori itu sedikit subjektif akibat pengalaman hidup yang empunya teori.

Keep writing folks, let me in to your world and your mind, sehingga tanpa perlu banyak bicara dengan Anda, saya sudah tahu pola pikir Anda.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!