SOLO!

Tuesday, June 11, 2013

Yolololololo~
Akhirnya setelah UAS yang semakin sedikit (karena tanpa sadar saya sudah menjadi angkatan tua), impulsively (again, I am an impulsive creature) saya beli tiket kereta menuju Solo. Some people say that I was stupid, kenapa ga beli ke Jogja aja?
Ya karena saya mau ke Solo. Sooo simple.

Taman Balekambang, Solo
Kata orang, nggak ada yang bisa dilihat di Solo.
Really? Nggak juga kok. Di kota Solo sendiri, ada dua keraton. Dua, lhoh. Di Jogja cuma satu. Dua keraton tersebut adalah Keraton Surakarta dan Mangkunegaran. Saya sendiri sudah pernah pergi ke Keraton Surakarta, sehingga kali ini ingin sekali masuk ke Keraton Mangkunegaran yang dulu sih gosipnya sulit sekali publik untuk dapat masuk ke dalam keraton.

Tugas Temen Saya nih
Sebelum berangkat, saya sudah menghubungi salah satu teman SMA saya di Solo. Beliau kuliah di Arsitektur UNS, dan dulu partner in crime saya dari kelas 2 SMA. Beliau nampaknya senang sekali saya mau datang. Dan memang begitu saya menghubungi teman-teman lain, semuanya langsung ingin sekali mengantar saya keliling (padahal saya pengen banget jalan-jalan sendirian di solo, solo traveling in solo ceritanya T.T). Entah karena saya keren jadi semua mau nganter saya, entah karena mereka kangen saya, atau entah karena mereka mau membanggakan kota tempat tinggal mereka sekarang. Coret kemungkinan satu dan dua yang tidak rasional, jadi memang kemungkinannya mereka mau membanggakan Solo ke saya. Hoho.

Saya berangkat ke stasiun Senen diantar seorang aneh yang impulsively (perhaps he's another one who has impulsiveness like mine) mau nganter saya. Batal batal deh, solo traveling. Dari awal aja udah dianter gini. Hahaha.

Hap!
Akhirnya naik kereta lagi. Kali ini baru deh sendirian. Yes.
Solo Jebres
Kini kereta ekonomi sudah amat sangat rapih, beda waktu dulu saya pertama kali naik gunung, waktu itu ke Semeru dan saya menggunakan kereta api menuju Surabaya. Sudah seperti gerbong manusia, padahal perjalanannya hampir memakan waktu 24 jam. Di samping saya duduk seorang wanita muda yang ternyata seumuran sama saya. Dia kuliah di Kediri, tempat terakhir kereta ini akan melaju.

Dua belas jam saya habiskan dengan mengobrol, melamun, baca buku, mendengar musik, smsan, dan the best part is: berdiri di pintu kereta. Kereta ini harusnya ga boleh dibuka pintunya karena ber-Ac, tapi ACnya sedang ada gangguan. Ya sudahlah. Bukan saya mau sok-sok adegan gak penting di film 5cm, tapi berdiri di deket pintu itu asik banget. Ngeliat keluar, yang ada cuma gelap total karena waktu masih menunjukkan pukul 12 malam. Beberapa kali terlihat temaram kota, namun hanya beberapa kali. Saya cuma bisa tidur dua jam. Ini pertama kalinya perjalanan jauh sendirian setelah sekian lama. Masih merasa insecure. Hehe.

Solo jebres! Tidak ada yang berubah, saya langsung sholat Subuh menunggu teman SMA saya. Kemudian kami menerobos senyapnya kota Solo pagi hari, untuk menunggu matahari terbit.

Ular Menelan Ayam
Perjalanan ini adalah perjalanan sederhana, tanpa rencana itinerary macam-macam. Jadi saya ngikut aja dibawa teman saya. Kita ke UNS dulu pagi itu. Seru juga, saya diculik ke lab mesin oleh senior saya di klub futsal jaman SMA. Dulu saya manager dan pemain, nah jadi wajar kalo kenal semua anak futsal (terutama garagara nagihin uang kas dan bawain rompi buat sparing -"-). Setelah saya ditinggal teman anak arsitek, guide saya ganti jadi si senior SMA saya ini. Begitu beliau selesai asisten lab, saya diajak ke Serabi Notosuman dan Taman Balekambang. Taman Balekambang ini semacam area besar dengan berbagai hewan yang dilepaskan secara bebas. Taman ini dibuat untuk dua putri kakak-beradik bernama Partini dan Partinah. Terdapat kolam sangat besar dan taman reptil dimana reptil dibiarkan bebas berkeliaran, burung-burung besar, dan saya melihat prosesi ular sedang menelan ayam bulat-bulat. Mungkin ada yang jijik, tapi saya tetap mau menaruh fotonya di sini. Boleh ya boleh yaa.

Taman Balekambang
Maghrib menjelang dan saya berpisah dengan guide senior. Kini kembali ke teman saya anak arsitek. Kami melaju ke Jogjakarta. Bahkan di tengah perjalanan, saya dan dia masih bergurau, "ngapain sih kita ke jogja?" lalu tertawa terbahak-bahak bersama di tengah temaram kota Klaten.

Taman Balekambang
Kami berhenti untuk sholat Isya di Masjid Prambanan. Hanya kami berdua. Kami pun sholat masing-masing, tidak ada interaksi. Hanya sunyi mengiringi kami sambil mengagumi tata bangunan masjid ini. Sepi. Sepi sekali. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke kota Jogjakarta, sambil kembali bertanya, "ngapain sih kita ke jogja?" lalu diam.

Masjid Prambanan

Sampai di jogja saya sudah menghubungi salah seorang teman saya - yang ini partner in crime saya di kelas 3 SMA. Saya cuma menghubungi satu orang, tapi sampai di depan kosannya ternyata sudah berkumpul 4 orang teman saya. wah, terharu! Kami hanya menghabiskan malam tidak jelas hingga menjelang pukul 2 malam. Saya dan anak Solo kembali ke Solo di tengah rasa kantuk yang hebat.

Burung-entah-apa di Taman Balekambang

Esok paginya kami sudah siap ke Keraton Mangkunegaran. Ingin membuktikan apakah sesulit itu masuk ke dalamnya. Ternyata sangat mudah, membayar retribusi lalu berjalan saja masuk ke dalam. Keraton ini berbeda dengan keraton Jawa lain, lantainya dari marmer. Hiasan lampunya berukir detil - kalau kata teman saya, khas arsitektur Eropa: attention to detail. Ada patung pastor, cupid, dan hiasan atap yang sangat tidak Jawa. Hujan kemudian turun, saya dan teman saya akhirnya hanya duduk sembari berbagi cerita. Sepi, hanya hujan, kami, anak-anak, turis asing yang tetap datang - awalnya Kaukasian lalu oriental (sepertinya Jepang). Saya berbagi pada teman saya bagaimana tokoh Semar hanya ada di pewayangan Jawa, namun tidak ada di kitab asli Mahabharata (kalau tertarik saya ada bukunya Clifford Geertz yang menceritakan perihal Semar ini). Sementara teman saya berbagi bagaimana "atap" adalah elemen penting dalam arsitektur rumah Jawa. Apapun bangunannya dan denahnya, semua harus mengikuti atap. Atap yang menjulang tinggi bak meru (gunung), menaungi bangunan layaknya orang tua. Semar - adalah sosok yang tercipta di Jawa sebagai orang tua yang meski mulutnya kasar, gemuk, dan tidak tampan - namun memiliki perwatakan paling bijak dan selalu dimintai nasihatnya oleh para pandawa. Dalam kultur Jawa yang paternalistik, orang tua dianggap sebagai poros keluarga bahkan kehidupan; semua yang dikatakan orang tua adalah bekal untuk anak. Maka kami mendapat kesimpulan di tengah hujan; Semar adalah atap, orang tua adalah bijak, dan kelak jika kita jadi orang tua kita harus bisa jadi Semar - atap bagi anak-anak kita.

Inside Kraton
Hujan perlahan berhenti. Tujuan saya selesai di Solo. Saya sudah mendapatkan beberapa helai kain ikat kepala Solo untuk orang-orang terdekat, sudah makan bakso bakar, sudah melihat kebo bule. Lengkap sekali. Tidak ada adegan naik ke atas bukit atau menapaki gunung tinggi. Tapi rasanya, untuk saat ini berbagi cerita adalah tujuan perjalanan saya.

Kebo Bule
Ketika saya hendak naik kereta, teman saya masih bilang "udah lo gausah pulang kenapa sih." Saya cuma bisa mengangkat bahu. Besok saya ada keperluan kampus. Saya naik kereta sendirian lagi. Sepertinya dalam perjalanan ini saya cuma bisa sendiri di kereta. Maka saya mencari momen lagi untuk sendirian: Pasar Subuh Senen! Ya. Setiap hari, di Senen terdapat pasar subuh tempat puluhan manusia menjajakan ribuan aneka kue setiap paginya.

My Fav Scene
Jam dua pagi, saya melenggang melewati sarang penyamun (baca: terminal Senen) sendirian, membeli dua pak kue sus (my favorite!) dan mencari lapak untuk duduk. Sendirian, memperhatikan lalu lalang beragam manusia selama dua setengah jam. Amazing. Setiap paginya mereka di sini mencari kue untuk dijual kembali, sebelumnya mungkin para produsen kue begadang menghasilkan kue. Betapa di dini hari pun sudah ada kehidupan dan roda ekonomi yang terus berputar. Semata-mata manusia lakukan untuk bertahan hidup.

Senen di Kala Subuh

Puas dengan semua pemandangan, saya melaju ke Tebet. Kenapa Tebet? Entah, saya hanya ingin ke sana. Tidak ada alasan khusus. Saya kemudian naik kereta pagi menuju Depok. Melelapkan diri. Tidak ada salam perpisahan karena saya tidak memiliki partner. Hanya ada salam perpisahan kepada bagian dari diri saya sendiri, yang rindu akan kesendirian.

Saya terus diomeli karena merasa terlalu hebat sendirian.

Di Solo, tanpa omelan sedikit pun saya sudah diingatkan oleh kehadiran berbagai jenis manusia bahwa "happiness only real when shared."

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!