A Lonely Trip

Friday, August 16, 2013

Apa yang membuat bangsa Barat begitu hebat dan mampu "menaklukkan" dunia?

Tidak, bukan dalam arti menaklukkan yang sebenarnya. Dunia tidak akan pernah mampu ditaklukkan manusia. Tak akan pernah bisa. Bangsa Barat mampu menjajah bangsa lain, bahkan sampai begitu lama mengakar. Yah, contohnya Bangsa Indonesia.


Sampai semalam saya membuka lagi buku Three Men in a Boat karangan Jerome K. Jerome, yang sebelumnya menemani saya saat solo traveling ke Solo. Saya menyadari satu hal yang ditulis oleh Jerome:


"What we want is rest," said Harris.
"Rest and complete change," said George. "The overstrain upon our brains has produced a general depression through out our system. Change of scene, and absence of the necessity for thought, will restore the mental equilibrium."

Mental equilibrium! Mental equilibrium. Di buku yang diterbitkan tahun 1889 (yang saya miliki terbitan tahun 1993, tahun kelahiran saya) ini, sudah ada sebuah term yang menurut saya jauh lebih epic untuk menyebutkan "psychological well being". Mental equilibrium! Setelah saya cari lebih jauh, mental equilibrium ini adalah bahasan yang kompleks antara psikologi, ekonomi, dan matematika. Saya bahas lain kali saja lebih lanjut.

Okay, balik lagi ke topik awal. Intinya saya sampai pada satu asumsi bahwa Bangsa Barat itu senang berpergian. Alih-alih mengambil keputusan seperti orang Indonesia yang banyak saya temukan di sekitar saya, termasuk bapak saya sendiri yang mendefinisikan bahwa istirahat, retirement, keseimbangan jiwa adalah diam di rumah menikmati waktu pelan-pelan.

Tiga orang di buku Three Men in A Boat, justru ingin merasakan yang baru setelah mereka bicara mengenai kondisi kesehatan masing-masing yang begitu buruk. Begitu mudahnya mereka memutuskan akan mengadakan sebuah perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka mencari keseimbangan jiwa dengan sebuah perjalanan.

Kemudian cerita mulai masuk ke "jantung"-nya perjalanan = persiapan. Buku ini mendeskripsikan secara detil persiapan mulai dari apa baju yang akan dipakai, sampai makanan apa saja yang akan dimasak, akan tidur di penginapan, tenda, atau di kapal saja. Detil sekali.

Sebuah keberanian untuk hijrah seperti yang diajarkan agama saya, ditambah persiapan matang, dan partner. Partner bisa saja teman, anjing, atau buku - buat saya.

Kemudian bangsa Eropa mulai pergi dari tanah kampungnya menjelajah sejauh mereka bisa, menemukan daratan (yang belakangan mereka klaim sebagai tanah yang mereka temukan, padahal tidak ditemukan, sudah ada disitu, mereka hanya mendarat) dan kemudian menjajah suku lokal yang belum mengerti dunia.

Maka berjalan adalah kunci.

Tapi saya rasa tidak berhenti sampai di sana.
Kunci kedua adalah soal kecepatan dan akselerasi.

Bangsa Eropa menang karena mereka lebih cepat berani melangkah dari bangsa lain. Seandainya kita punya keberanian lebih cepat, belum tentu Eropa yang akan menjajah dunia.


Akhir-akhir ini saya lagi ngefans sama cheetah. The fastest animal on earth ini mampu berlari hingga kecepatan 100 km/jam. Kalah cepat dari mobil? Ada yang tidak bisa dikalahkan mobil balap sekalipun, yakni akurasi berbelok dan berbalik arah yang sangat tinggi. Seperti dikatakan National Geographic Wild channel, "in wild, speed is an asset. Speed is what you need to kill." Namun menjadi binatang tercepat juga menjadi kutukan tersendiri: cheetah tidak mampu berlari cepat dalam jangka waktu lama. Jika suhu otaknya mencapai 40.5 derajat Celcius, maka ia harus berhenti.

Siapa yang cepat, dia yang dapat.

Kalimat itu kini terasa signifikan bagi saya, bukan lagi menjadi lelucon bersama teman.

Saya sedikit memperhatikan binatang-binatang tercepat di bumi. Selain cheetah, ada pula elang. Mereka selalu sendirian. Tentu saja. Kuat, cepat, maka itu cukup untuk berburu sendirian. The eagle flies alone, sebuah kalimat yang digunakan Kartini Sjahrir untuk menggambarkan Soe Hok Gie. Meski banyak teman bercengkrama, ia sebenarnya selalu sendirian. Ia berbeda, berpikir, dan bergerak cepat. Tulisan-tulisannya persis seperti elang.

Satu lagi. Mimpi.

Bangsa Eropa tentunya menjadi besar bermula dari mimpi. Mimpi mereka bahwa ada bangsa dan tanah lain di luar sana, lalu mereka keluar dari zona mereka untuk melihat dunia.

Menjadikan mereka sendirian di selama perjalanan, membuktikan asumsi mereka untuk mencapai mimpi, dengan kecepatan luar biasa, untuk sekedar mencapai mental equilibrium.

Nampaknya, sekarang saya ingin sekali menjadi seperti itu. Seperti itu saja.
Meski harus sendirian.

pict of cheetah taken from http://wallpaperswide.com/

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!