Tanah Sama, Makna Berbeda

Friday, August 23, 2013

"...Kendati doa terucap beda
Anugrah yang sama kita terima
Aku adalah kamu
Manusia yang sama

Matahari takkan terlihat beda dari tempatmu
Bulan dan bintang kan terlihat sama dari tempatku
Kan memberikan cahaya yang sama untuk kita."

[Aku Adalah Kamu, Dialog Dini Hari]

Scene in front of our tents
Lagu ini menemani langkah saya saat memasuki kapal menuju Pulau Pari yang masih kosong. Saya, berempat dengan teman-teman saya, yang dulu pernah bersama-sama mengadakan kegiatan yang merupakan bagian dari kampanye turisme ramah lingkungan di sana, berencana menghabiskan waktu bersama untuk sebentar. Sekedar menggelar tenda dan menyusuri pantai, menonton mentari terlelap dan kemudian beribadah menghadap ke singgasana matahari tenggelam.

The Men in the seashore
Sebuah perjalanan sederhana, sebuah perjalanan yang sedikit merapatkan jarak antara kami satu sama lain. Sebuah rencana yang begitu sederhana, untuk memeriksa kembali mangrove yang kami tanam tahun lalu di sana. Sebuah perjalanan yang menyadarkan saya bahwa mentari tenggelam di sini, di Pulau Pari yang begitu indah ini, adalah surya yang sama dengan yang saya saksikan setiap harinya sepulang kerja di Jakarta. Hanya berbeda makna, seperti yang Tuhan saya katakan di kitab suci-Nya, Ia telah menciptakan segalanya berbeda di atas tanah dan aliran air yang sama. Relativitas itu yang mungkin dulu menginspirasi Einstein.

Kita tak berbeda, matahari itu tetap sama. Bulan yang kukagumi di sini, yang menemani kami berempat mendiskusikan bisnis sampai agama, cinta sampai ideologi, adalah bulan yang sama menemani kamu di sana.


Saat saya turun dari sampan, saya sedikit benar-benar berharap bahwa hidup bisa seperti ini saja, di tengah laut, menikmati matahari yang turun perlahan, bersama sedikit teman dekat di tengah hutan mangrove berusia ratusan tahun. Seperti yang Jerome K. Jerome jelaskan di bukunya, "Let your boat of life be light, packed with only what you need." Hanya setumpuk buku menarik dan partner untuk melangkah. Hanya sebuah-dua buah tenda dan makanan secukupnya. Hanya air dan korek api untuk sekedar menghangatkan badan. Satu-dua pasang baju untuk melindungi diri dari dinginnya embusan angin malam. Hanya sebungkus cerita tanpa perlu ada rokok dan kopi di sana. Hanya kami berempat.


Saya tidak lagi menyesali hidup yang tidak bisa seperti di pantai ini.
Toh hidup di manapun akan sama saja. Menyisakan tantangan berbeda dan dinamika yang berputar dalam rentang waktu berbeda.
Just wanna live a life like this?
Salam hangat dari Pantai Pasir Perawan di hari kemerdekaan Indonesia. Saya janji tahun depan akan ke sini lagi, sendirian. Untuk memaknai kesendirian dan betapa butuhnya saya akan kehadiran orang lain.

Tapi,
toh semuanya sama saja, tinggal bagaimana kita memaknainya.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!