Kekurangan Cahaya

Monday, December 23, 2013


Malam lalu saya berjalan kaki dalam gelap bersama seseorang yang akhir-akhir ini menjadi intens berinteraksi dengan saya. Dia seorang perempuan yang menurut seseorang lainnya mirip sekali sama saya. Sama-sama nggak jelas, suka ngerandom, anak dibawah umur yang kecepetan dewasa, suka nulis (nggak jelas), cuek tapi suka ngobrol kalau sudah nyambung, dan suka mikir sambil merhatiin sekitar. Kami berencana pulang mengambil jalur gelap: dari Balairung, menuju Science Park, Fasilkom, FIB, Teksas, lalu Teknik. Jalur Balairung itu gelap dan sisi kanannya terhampar danau.

Sepi. Hanya derap langkah kami berdua dan obrolan yang makin ngalor ngidul.

Sampai pada kami bicara soal film dan komik mengenai pembunuhan, masih hanya ada kami berdua dan desiran angin malam.
Lalu saya teringat sesuatu saat kami sudah berpisah.

Katanya, tidak ada yang namanya gelap.
Hanya ada kekurangan cahaya.

Beberapa waktu lalu saya nonton Planet Earth di Kompas TV mengenai Caves. Gua-gua terdalam, terpanjang, dan gudangnya spesies unik di muka Bumi ini. Seketika saya ingin duduk di samping seorang pria yang dengan lancarnya menjelaskan mengenai patahan-patahan Bumi saat berada di Gunung Batu, untuk bertanya bagaimana bisa di dalam Gua ada kristal-kristal menakjubkan. Seketika saya ingin duduk di samping seorang pria yang dengan lancarnya menjelaskan mengenai kejamnya hitung-hitungan evolusi pada berbagai spesies saat berada di Gunung Salak, untuk bertanya bagaimana bisa ekosistem Gua begitu tepatnya menghitung kebutuhan berbagai spesies di dalamnya untuk memiliki organ yang sesuai dengan kondisi kekurangan cahaya tersebut.

Jadi, dalam gua-gua terdalam itu terdapat aliran air yang mengandung belerang cukup tinggi, sehingga nyaris mustahil dapat dikonsumsi. Namun nyatanya ada beberapa hewan yang dapat tinggal di situ, bahkan menjadi habitatnya seperti ikan dan kepiting khusus, dan karena evolusilah - dengan segala hitungannya, mereka tidak memiliki mata. Mungkin menurut semesta, mereka tidak butuh mata di tempat yang kekurangan cahaya tersebut sehingga organ tersebut dihilangkan secara fisiologis. Jadilah, mereka hewan tanpa mata yang bisa bertahan hidup di sana.

Beberapa hari ini saya sedang menjadi keranjang sampah oleh teman di sebuah fakultas ilmu murni mengenai fenomena mencontek yang sedang merebak di jurusannya. Pagi ini, saya juga melihat gambar gubernur provinsi tempat saya tinggal, Ratu Atut, menghiasi headline koran-koran yang dilanggan bapak saya. Meski menangis dengan mengenakan baju tahanan KPK, dikelilingi wartawan dan polisi, ia tetap mengenakan jilbab bermerk Louis Vuitton yang tak mungkin imitasi. Beberapa waktu lalu pula, di fakultas ekonomi sedang hangat kasus penggelembungan dana yang dilakukan oleh salah satu himpunan mahasiswa bergengsi di sana. Penggelembungan dana tersebut mencapai 100% dari besaran awal dan hingga kini masih dirumuskan hukuman yang tepat bagi para pelaku.

Pencontek, koruptor, penggelembung dana.
Sedang apa sih mereka?
Saya juga tidak mengerti. Melakukan hal-hal yang sebenarnya menjatuhkan diri sendiri.
Ataukah mereka sudah tidak memiliki mata yang jernih lagi?
Ataukah seperti hitung-hitungan evolusi dalam ekosistem Gua,
mereka tidak memiliki mata,
karena akal mereka sudah kekurangan cahaya.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!