Beberapa waktu lalu saya bertemu kembali dengan seorang sahabat di SMA. Dulu, dari mulai main futsal, berantem, duduk sebangku, baca komik tengah pelajaran fisika, bolos kelas ke kantin, sampai UAN kami lalui bersama. Dialah yang selalu mengingatkan saya, "...tek, bahagia itu sederhana. Sesederhana lo pergi ke kafe dan duduk berdua, asalkan dengan seseorang yang bisa membuat lo bahagia."

Sampai pada waktu saya menemani dia di sebuah kafe yang khas dengan pancakenya, menemani dan membantu pengerjaan skripsinya, dia lagi-lagi mengingatkan saya. Saya baru menemukan sebuah toko scrapbook dan beberapa kertas cetak yang sangat menarik. Saya bisa berjam-jam di sana membayangkan kartu apa atau desain apa yang bisa saya buat. Dan dia, tidak mencemooh bahwa perilaku saya tidak berguna. Dia - lagi-lagi bilang, "...ya kan? Bahagia itu sederhana kok."

Jika pergi ke sebuah tempat yang sungguh indah, tapi bersama seseorang yang membuatmu tidak bahagia, apakah tetap sama indahnya? Apakah pergi dengan seseorang yang tidak menghargaimu, dan pergi untuk kebahagiaannya semata, akan tetap membuat perjalanan seindah yang dibayangkan?

Sepertinya tidak.

Seperti kata Ben Stiller di film Night at The Museum 2, "happiness is doing what you love with somebody whom you love."

Tapi kadang kita membayangkan bahagia terlalu jauh. Bermimpi diving di Raja Ampat, terbang menuju negeri di Eropa, berkeliling taman nasional sambil mengamati kesepian, punya bisnis besar yang menguasai dunia, menghabiskan masa muda dengan keliling dunia, bahkan sampai ingin menjadi presiden. Sesulit itukah jadi bahagia? There's those thinking more or less and less is more, but if less is more, how you're keeping score?

"Inget, tek. Bahagia itu sederhana. Sesederhana lo membuka kotak perkakas dan membuat kartu-kartu lucu seperti biasanya. Lo nggak perlu pergi jauh untuk mencari kebahagiaan, karena bahagia itu mungkin sudah lama ada di depan mata." - Bella Ammara Karlinda