Laboratorium Pertama

Wednesday, January 15, 2014

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan sahabat lama saya saat berada di Solar Generation, sebuah unit anak muda yang fokus pada isu iklim dan energi masih ada di Indonesia. Dulu, kami, saat masih sama-sama anak ingusan berdebat mengenai warna bendera atau jumlah pin yang akan dibagikan saat open booth di Ancol. Bertengkar mengenai alat cat rompi dan siapa yang harus diceburkan ke kolam renang kantor weekend ini. Pertikaian mengenai snack apa yang akan dibeli dalam perjalanan menuju lokasi-lokasi kampanye, atau makanan apa yang akan dibawa saat camping di tengah hutan.

Tapi di balik itu semua, kami berdiskusi mengenai sumber energi negeri ini, lumbung-lumbung emas yang juga menyisakan kemiskinan. Kami mendengar keluhan warga di tempat terpencil, cerita-cerita yang tak pernah terungkapkan di balik gemerlap perusahaan tambang. Kami menulis, bagaimana Indonesia harus mandiri energi fosil, dan menyambut energi terbarukan. Kami belajar, bahwa perubahan tidak pernah ada di meja rapat, tapi dimulai ketika kami keluar dari ruang rapat dan mewujudkan apa yang sudah dibicarakan.

Saya hari ini lahir dari ruang kecil berukuran kurang lebih 4 x 6 meter dengan sebuah whiteboard di dekat pintu masuknya. Dari sebuah email invitasi untuk datang ke kantor yang lebih mirip sebuah rumah di Kemang. Dari diskusi-diskusi panjang hingga dini hari, laporan-laporan mengenai data lingkungan, serta dari rahim pemikiran beberapa orang yang hingga kini masih duduk di sana.

Dua Tahun

Greenpeace Indonesia tidak selalu dikenal dengan nama baik. Kerap dimaki, dicerca, dan dituding sebagai perusak perekonomian Indonesia. Namun hal itu pula yang mendorong saya untuk langsung mempelajari Psikologi Ekonomi, termasuk akhirnya menyelesaikan skripsi di bidang Perilaku Konsumen. Belakangan saya paham, bukan masalah NGO atau pelapor sebuah merk dagang yang merusak perekonomian Indonesia. Justru, setiap konsumen berhak melaporkan produk yang merugikan mereka. Siapakah konsumen? Kita. Kita semua, yang mana setiap orang yang bekerja di NGO juga disebut dengan konsumen. Ini bukan soal siapa yang melapor dan menyuarakan haknya, ini adalah soal keberanian. Pasalnya, tidak semua orang menyandang predikat konsumen asertif yang rela merepotkan dirinya sendiri untuk melaporkan produk dengan bahan berbahaya (sampai meracuni sumber air), minyak kelapa sawit dari deforestasi hutan (sampai membunuh ribuan spesies dan mengancam umat manusia), energi dari perampasan hak asasi (sampai mengusir masyarakat adat dari rumahnya), atau kertas dari pembunuhan satwa ilegal (sampai mengancam keberadaan populasinya).

Saya merasa beruntung pernah bergabung sebagai sukarelawan dari sebuah organisasi yang dibangun dari rasa semangat para pelaut, untuk menyuarakan agar uji coba nuklir di Amchitka untuk segera dihentikan. Kegagalan adalah kemenangan yang tertunda, dan itulah kegunaan persistensi. Antelop dengan kecepatan lari 70 km/jam tidak akan menyaingi predatornya, cheetah dengan 100 km/jam. Namun, otak antelop diberkahi dengan sistem pendingin sehingga dapat berlari lebih lama dibanding cheetah dan akhirnya selamat. Ini bukan masalah siapa lebih hebat, ini soal memegang teguh prinsip yang ada. Selama dua tahun, saya dibekali dengan nilai-nilai itu di sana. Selama itu pula saya belajar organisasi ini adalah organisasi pemimpi. Tapi, tidak ada yang salah dengan mimpi.
Dream, but don't sleep.

The Law of Few

Selama dua tahun saya menyaksikan silih bergantinya wajah-wajah lama dengan baru, yang lama kembali, dan yang baru terlalu cepat pergi. Tapi tak mengapa, perubahan adalah sesuatu yang wajar. Kadang ketika sudah terlalu lama di zona nyaman, tugas kita selanjutnya hanyalah beranjak mencari zona nyaman berikutnya. Organisasi ini dapat hidup dengan hanya dua, tiga, orang. Bukan jumlah yang menghidupinya, namun idealismenya. Hal yang saya suka di sini, saya dapat membaca laporan-laporan hebat, yang dibuat dengan tidak asal-asalan dan data. Interpretasi tajam yang bukan hanya dibuat oleh orang luar negeri sana, tapi juga orang Indonesia. Saya berkiblat pada laporan organisasi ini ketika membuat laporan untuk kampanye Babakan Siliwangi: Pembangunan Tanpa Mata.

Greenpeace Indonesia adalah laboratorium sosial pertama saya. Saya melihat berbagai macam orang dengan berbagai macam tipe kepribadian. High self-esteem, high anxiety, narcissistic, extrovert, dan sebagainya. Bagaimana fenomena konformitas terjadi di banyak rapat dan diskusi, bagaimana altruisme menghiasi kerja-kerja lapangan. Bagaimana usia hanyalah angka, dan senior-junioritas hanyalah mitos. Saya belajar menghargai seseorang karena kemampuannya, bukan karena uang atau usianya. Saya belajar melihat bahwa ada orang-orang yang tidak akan membiarkan pelita idealismenya redup dimakan waktu. Saya belajar menghargai perbedaan agama, perbedaan keyakinan, dan perbedaan ideologi dari organisasi ini.

Enough is Enough

Tahun lalu, saya memutuskan keluar dengan beberapa pertimbangan pribadi. Prioritas saya ada di tempat lain, yakni kampus saya sendiri. Sebelumnya saya menjadi ketua Green Community UI juga atas dorongan sahabat saya di Greenpeace Indonesia. Ia bilang dalam teleponnya, "perubahan harus dimulai dari lingkungan terkecil." Saat itu pula saya sudah merasa lulus dari organisasi ini dan merasa harus menapaki tempat lain. Isu baru, hal baru. Akhir tahun 2013, saya dan tim berhasil mendorong pihak kampus agar memindahkan rusa di kampus saya agar dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Beberapa pihak mengatakan kampanye Santa's Missing Deer sungguh menarik dan benar-benar efektif.

Saya bukannya mau bilang bahwa semua usaha saya setelah memutuskan keluar berhasil karena bantuan Greenpeace, tidak sama sekali. Namun, Greenpeace adalah tempat belajar saya, untuk mewujudkan visi-visi tersebut berhasil. Analogi sederhana yang kerap digunakan di Psikologi Pendidikan adalah, katakanlah ada 30 orang murid masuk ke dalam kelas yang sama. Metode pembelajaran, guru, dan fasilitas semuanya sama. Namun apakah 30 orang tersebut mendapatkan insight yang sama begitu keluar dari kelas? Saya hanyalah satu dari 30 orang yang memutuskan keluar lebih kelas terlebih dahulu untuk mempraktekkan apa yang sudah saya dapat di kelas, dengan cara saya sendiri. Saya keluar dari Greenpeace untuk mencoba hal baru di luar sana, khsususnya konservasi dan perlindungan satwa liar.

Pilihan

Kata orang, aktivis itu sekumpulan orang-orang bodoh yang mau bekerja tanpa dibayar. Katanya, aktivis selalu berpenampilan tidak rapi dan tidak menghormati lawan bicaranya. Katanya pula, aktivis terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak penting, melupakan kepentingan dirinya sendiri.
Tapi saya rasa, itu pandangan subjektif. Dalam studi Behavioral Economics, terdapat sebuah istilah bernama Taboo Trade-Off. Artinya, pertukaran hal-hal yang tabu untuk ditukarkan dengan uang. Misalnya, cinta atau seks. Dalam hal ini, anggaplah aktivis mencintai lingkungan apa adanya. Maka, bekerja demi lingkungan dan dibayar, merupakan sebuah Taboo Trade-Off untuk dilakukan. Pernahkah kita sudi menukarkan hal-hal yang kita anggap tidak dapat ditukar dengan uang begitu saja?

Saya seorang aktivis yang bangga dengan profesi ini. Banyak orang bilang, mahasiswa aktivis memaksimalkan masa kuliahnya karena sibuk dengan aktivitasnya. Tapi saya rasa penilaian itu kembali subjektif. Saya baru saja menyelesaikan studi S1 saya dengan sidang skripsi pada tanggal 7 Januari kemarin. Saya juga berani bilang, studi saya untuk skripsi bukan studi main-main, butuh satu tahun penuh untuk menyelesaikan studi skripsi tersebut, dengan tujuh kali pengambilan data primer di dua universitas, Universitas Indonesia dan Universitas Udayana. Sambil skripsi, saya juga mengurusi kampanye rusa dan bekerja part time mencari pengalaman di bidang analisis big data dan gamification. Tiga setengah tahun, saya selesaikan studi dengan rapi dan tetap menyuarakan satwa yang membutuhkan kesejahteraan hidup yang lebih baik.

Itu semua cuma soal pilihan dan prioritas.
Apakah hari ini Anda seorang aktivis yang membaca tulisan ini,
ataukah yang biasanya menghina aktivis lingkungan.
Ataukah Anda tergabung dalam Greenpeace Indonesia baik sebagai volunteer, donatur, atau staff,
ataukah pihak yang bersitegang dengan mereka semua.



Siapapun Anda, saya cuma punya satu doa.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Seperti kata seorang filsuf, Aesop,
"no act of kindness, no matter how small,
is ever wasted."

Bahagia itu sederhana.

Salam,
Puspita Insan Kamil, S.Psi
Peminatan Psikologi Sosial
Universitas Indonesia



Tulisan ini didedikasikan kepada dua guru besar saya di Greenpeace Indonesia,

Didit Haryo Wicaksono dan Arif Fiyanto, terima kasih untuk semua ilmunya. Keep inspiring.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!