Paradise Falls

Wednesday, January 22, 2014

My Paradise Falls
 "Naik kertajaya juga dek?"
"Iya pak."
"Sendirian?"
"Iya nih pak, hehehe."
"Wah berani ya, masih mahasiswa?"
"Baru aja selesai pak."
"Ohya? Dimana?"
"Di UI pak."
"Oooh, UI, ambil apa dek?"
"Psikologi pak."
"Wah psikologi apa? Klinis?"
"Hehehe, nggak pak, psikologi sosial."
"Hoo, lalu ke Surabaya mau pulang abis lulus?"
"Wah nggak pak, saya iseng aja ke sana."
"Waduh udah iseng, sendirian. Orang psikologi sosial emang ya, iseng suka ngamatin orang. Nanti susah punya pacar lho mbak, kebanyakan ngamat sehingga semua orang keliatan ada aja kurangnya."

--

Tujuh ratus kilometer jarak yang akan saya tempuh menuju Surabaya di gerbong kereta ini bukanlah permulaan perjalanan panjang saya. Sebelumnya, saya sudah melalui perjuangan panjang untuk menuntaskan janji saya pada Ayah saya: menyelesaikan semua urusan birokrasi skripsi final dan berkas kelengkapan judicium di fakultas sebelum berangkat ke Surabaya.

Saya memulai hari tanpa pretensi, namun begitu tiba di kampus, ternyata saya harus bolak balik labkom kampus - perpus pusat UI - perpus psikologi UI - subag akad - tempat penjilidan skripsi. Saya sempat ditolak di perpustakaan psikologi UI karena tiba pada jam hampir memasuki waktu sholat Jumat. Setelah memohon-mohon diperbolehkan mengumpulkan final skripsi dan CD, akhirnya saya menuju stasiun kereta. Tepat di depan muka saya, pintu kereta menuju Jakarta Kota menutup. Saya sudah terpikir akan ketinggalan kereta menuju Surabaya.

Cetak tiket sendiri di St. Ps. Senen
Namun, Tuhan itu iseng - seperti kata seorang teman. Di sinilah saya, duduk di dalam kereta dengan perasaan sedikit aneh setelah berbicara dengan bapak tak dikenal yang bisa men-judge saya selektif dalam memilih pacar. Apapun itu, ada benarnya pak. Terima kasih sudah mengingatkan saya. Di bangku kereta ekonomi ini, saya wanita sendiri, duduk di pojok jendela. Itulah kenapa saya memilih tidak tidur, hanya membaca buku, sesekali makan, dan melamun. Apapun yang terjadi, saya harus sampai ke tempat impian saya: Madakaripura.

Mr. Guide!
Setiba di Surabaya, saya dan Mr. Guide saya sudah memulai dini hari dengan aneh. Kecelakaan. Tepat di depan mata. Melihat pengendara keluar dari mobil dengan kejang dan hilang kesadaran. Darah berceceran. Sang wanita meneriakkan nama Tuhan Yesus, berharap si pengendara tetap selamat. Setelah polisi datang, saya dan Mr. Guide melanjutkan perjalanan. Hari ini akan berat. Prediksi empat jam perjalanan menuju Probolinggo untuk mendaratkan kaki di bawah air Madakaripura, ditambah empat jam perjalanan pulang ke Surabaya.

Matahari!
Akhirnya saya melihat matahari! Perjalanan menuju Probolinggo dihampiri terik matahari, berganti awan gelap, berganti terik, berganti mendung. Begitu seterusnya. Dan akhirnya saya melihat plang yang menunjuk ke arah kanan itu:

MADAKARIPURA 5 KM

Ah, betapa saya sudah menantikan saat-saat ini untuk sekian lama.
Dimulai dari manisnya film Up! yang tak bosan-bosannya saya tonton berkali-kali, saya jatuh cinta pada Paradise Falls. Bukan untuk hidup di bawahnya, tapi untuk melihat keagungannya, membawa air yang kemudian mengalir dan menghidupi banyak makhluk di alirannya.

Siang itu Madakaripura tidaklah terlalu ramai. Mr. Guide memperingatkan untuk bersiap basah melewati tirai air menuju air terjun kedua tertinggi di Indonesia itu. 200 meter! Setinggi gedung bertingkat dan ada air yang terjun bebas ke bawahnya. Begitu memasuki area air terjun, saya melihat sebuah hutan purba. Dengan kicauan burung di sana sini, saya tidak bisa berhenti meski sudah siap dengan binokuler saya. Jalan  terlalu sempit, dan kami menghindari berlama-lama di area rawan ini. Sayangnya pula, saya tidak ahli mengidentifikasi burung dari kicauannya. Yah, tak apalah. Toh saya anak Psikologi, bukan Biologi.

Tirai air itu nampak gagah. Seperti hujan deras, dan berteriak-teriak saat melewatinya sungguh melegakan hati. Semua beban birokrasi sebelum berangkat ke Surabaya tersapu tiap titik airnya. Dancing in the rain? No, this is dancing under waterfall. Dan akhirnya saya melihat ujung penantian hidup saya: 200 meter. Ya. Benar-benar tinggi. Menyisakan kolam di bawahnya. Menyisakan dingin yang merembes di sepatu gunung saya. Basah menyelimuti celana lapangan saya. Untuk sejenak saya nikmati bulir air yang alirannya memang amat deras dari binokuler saya.

Tirai Air

Paradise Falls.
Jika Paradise Falls di film Up! tidak nyata, inilah Paradise Falls versi saya.
Lebih indah dari yang ada di Gunung Galunggung.
Lebih dekat, lebih nyata.
Keramahtamahan yang tidak ada habisnya.
Saya terhenyak mendengar harga gorengan hangat yang saya makan di atas dekat air terjun seharga 500 rupiah.

Saya akan mencoret salah satu Bucket List dalam jurnal saya:
"Going somewhere that really amazing before starting full time job."

--

Hari kedua saya habiskan di kota Surabaya. Saya mengecek KBS, namun tidak akan saya ceritakan di sini. Berkunjung ke Kebun Binatang di kota yang saya datangi akhir-akhir ini jadi sebuah keharusan, lagi-lagi karena film. We Bought a Zoo, saya jatuh cinta dengan film itu. Sangat jatuh cinta! If only I can live like the Mee family, I would put this marketing stuff off. Serious.

C20 Library
Setelah dari KBS, saya sempat mampir ke sebuah tempat yang tidak kalah hebat. C20 library. Sempat tersasar menuju Jl. Cipto no. 20 Surabaya, tempat mungil tersebut adalah surga lainnya. Buku-buku hebat yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Terduduk menunggu teman yang pernah mengajari saya Meditasi di kaki Gunung Salak, saya tenggelam dalam buku-buku luar biasa ini. Ini adalah destinasi terakhir saya pada perjalanan kali ini.

Mirip Pesawat
Tapi Tuhan ternyata berkata lain. Saya terlambat menuju stasiun karena beberapa hal yang menurut saya wajar terjadi dalam sebuah perjalanan. Ah tapi biarlah, seperti kata peribahasa Vietnam, "Venture all. See what fate brings." Ternyata kereta selanjutnya yang akan membawa saya ke Jakarta adalah kereta yang saya impikan sejak tahun 2011, sejak saya melakukan perjalanan pertama saya ke Gunung Semeru. Waktu itu saya melihat sebuah kereta dengan interior mirip pesawat, dan kata partner saya, kereta itu buatan Indonesia. Saya, seorang pencinta produk asli Indonesia, sudah menetapkan mimpi untuk menaiki kereta ini sejak saat itu. Dan hari Minggu tersebut, Tuhan mengabulkannya dengan caraNya sendiri. Ia memang iseng.

Kereta itu sangat sepi. Menjadi kereta termahal dari Surabaya menuju Jakarta, gerbong saya hanya diisi sekitar sepuluh orang. Saya dapat tempat di dekat jendela, dan sebelah saya kosong. Ditemani sebuah novel dari seorang sahabat, mengingatkan saya bahwa saya sedang menembus sebuah Garis Batas. Garis Batas, menurut Agustinus Wibowo, setiap orang membawa garis batasnya masing-masing. Tiap bangsa memiliki garis batasnya masing-masing. Tiap negara, bisa saja memiliki garis batas hanya 20 meter yang memisahkan impian dan kenyataan.

Setiap orang melihat negeri di seberang sebagai negara berkecukupan tapi kenyataannya tidak demikian. Impian kita di lahan tetangga, tidaklah sebaik yang diperkirakan. Maka ditemani tempat duduk kosong itu, saya sedang memikirkan sebuah garis batas. Garis batas yang selama ini selalu saya buat tebal dengan orang sekitar, garis batas yang saya buat untuk diri saya sendiri merasa cukup nyaman sejak terakhir meninggalkan seorang pria yang sudah membawa saya melihat Indonesia. Garis batas yang saya tetapkan bahwa saya akan sendiri, mencicipi berbagai pengalaman di berbagai ranah yang bisa saya lewati garis batasnya. Ditemani kesepian, saya tidak mengharapkan siapapun duduk di sebelah saya. Ah, apakah sebentar lagi saya akan mengharapkan seseorang duduk di sana?

Entahlah.


"Traveling - it makes you lonely, then gives you a friend." - Ibn Battuta

You Might Also Like

2 comments

Let's give me a feedback!