Pandora

Thursday, February 13, 2014

Ia adalah seorang partner diskusi terbaik, soal skripsi, penelitian, ide, masa depan, pekerjaan, hingga hal yang paling sulit saya diskusikan dengan siapapun -- finansial.

Dia selalu ada di ruangan itu, mendengarkan semua cerita saya.
Menghabiskan waktu menunggu hujan reda, bicara tentang hal-hal tidak penting sampai sangat penting - tentang pemilihan raya di fakultas, tentang binatang-binatang yang lucu namun tidak terawat, tentang bagaimana kami mengagumi, mengamini, sekaligus ingin melihat sebuah perubahan besar di kampus biru muda ini. Ia juga mendengarkan bagaimana saya jatuh dan sakit hati di Kota Kasablanka, lalu membesarkan hati saya dengan bilang, "bukan salah kamu, tapi kamu harusnya bangga bisa tahu permainan mereka di usia semuda ini. You should be proud." Ia juga mendengarkan bagaimana saya sedang dekat dengan seseorang di kampus biru sana, lalu bilang sambil tertawa, "apa sih yang bikin kamu suka? Bisa bikin modeling? Dilakuin ga? Sini tunjukkin dulu sama saya," seolah ia adalah bapak yang ingin melihat calon menantunya. Sementara ayah kandung saya sendiri, rasanya tidak begitu peduli dengan bagaimana pria pilihan anaknya. "Yang penting cari suami baik dan kamu jadi istri yang baik." Dua bapak yang sangat berbeda.

Saya jatuh cinta dengan sosoknya, bukan karena segala macam atribut yang melekat padanya. Ketua program studi postgraduate, kepala Bagian Psikologi Sosial, ketua macam-macam.
Saya jatuh cinta dengan segala isi kepala, pemikiran, etos kerja, dan pembawaannya.
Orang yang begitu hangat, tapi begitu pedas saat mengomentari tulisan atau presentasi saya.
Orang yang suka naik kereta, dan mencetak pada kertas bolak-balik.
Orang yang mengenalkan saya dengan banyak orang hebat lainnya, agar saya belajar.
Orang yang mampu mengingatkan saya, "kamu harusnya bersyukur, bisa mengerjakan skripsi sambil bekerja, sambil mengurus rusa, dan lain-lain yang saya tidak tahu."
Orang yang begitu mudahnya menyambut ide saya untuk mengajarkan apa yang saya lakukan di kantor, untuk sebuah kelas yang begitu berarti untuk saya - kelas di mana saya bertemu dengannya.

Tapi kami juga tidak setuju soal banyak hal.
Soal pilot study, soal teknis prosedur eksperimen, soal seleksi partisipan.
Kami berdebat soal banyak hal.
Kami juga memiliki keyakinan berbeda.
Tapi banyak orang bilang, dua orang belum cukup dekat jika belum bisa mengakui perbedaan yang dimiliki dan mempertahankan pendapat masing-masing.

--

Ulang tahun kami hanya berbeda dua hari, dan tulisan ini adalah sebuah surat peringatan ulang tahun yang tidak mungkin saya tulis di bagian Ucapan Terima Kasih skripsi.
Terlalu banyak terima kasih yang ingin saya haturkan padanya.

Terima kasih sudah menjadi orang pertama yang bilang tulisan saya jelek, nggak enak dibaca. Terima kasih selalu memarahi saya dan bilang, "kamu males, kamu nggak mau baca." Pertama kalinya juga ada yang bilang saya males dan tidak mau baca.
Terima kasih untuk mengingatkan saat saya sedang banyak pikiran, "kualitas tugas kamu menurun, jadi sama aja kayak teman-teman kamu." atau "kesalahan input data ini remeh sekali, bukan karena kamu nggak bisa, tapi kamu sedang banyak fokus yang dibagi." Dan yang paling bikin senang mengingatkan deadline tugas, "btw jangan lupa hari ini deadline pensos."
Saya merasa terhormat menjadi salah satu dari sedikit mahasiswa yang disms dosen koordinator pengampu mata kuliah untuk mengingatkan deadline tugas.

Terima kasih, sudah mempercayakan topik penelitian saliansi mortalitas kepada saya.
Terima kasih untuk petuahnya, "saya takut kamu kena sindrom wanita-wanita psikologi lainnya. Smart girl, foolish choice. Kamu hanya boleh nikah kalau kamu bisa nemu calon suami yang membiarkan kamu berkembang sampai sky is the limit. Membesarkan anak bukan hanya tanggung jawab istri, tapi juga suami. Saya ingin lihat kamu jadi orang besar, peneliti yang benar. Dan saya tahu dalam beberapa tahun ke depan kamu bisa jadi seperti itu."

Terima kasih banyak untuk menjadi seorang yang selalu percaya bahwa semua mahasiswanya pintar, meski banyak mahasiswa justru mendeksripsikan dirinya seperti Dementor saat masuk ke ruang kelas.

Namun, jika saya ditanya pembimbing skripsi saya seperti apa, saya akan menjawab dengan pasti, "beliau seperti sebuah kotak pandora, dengan berjuta inspirasi di dalamnya."

--

Before receiving this, I was once a beginner.
Untuk bapak kedua saya, yang mengajarkan saya kehidupan,
Harry Susianto, Ph.D.

I wish you can see the big thing before you go, as you always say,
"Saya nggak mau bawa mati ilmu-ilmu saya. Saya mau menitipkannya pada kalian, yang akan membuat perubahan."

Selamat ulang tahun, mas.

p.s.
Saya menulis ini, agar kelak bisa saya baca kembali, dan mengingat,
that I was once a beginner.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!