Kereta

Friday, April 25, 2014


Saya menggemari transportasi publik. 
Saya baru sadar itu kemarin pagi, ketika naik sebuah kendaraan umum dan supirnya menyapa saya. Bertanya sekarang sudah lulus kuliahkah, atau ayah saya masih menjadi dosen atau tidak. Saya sedikit bingung kenapa beliau begitu mengetahui tentang saya dan ayah saya. 
"Bapak sering lihat eneng pulang sekolah dulu. Juga dibanding kakak eneng, bapak lihat neng jarang keluar rumah. Kalaupun keluar atau pergi pasti naiknya angkot. Padahal di rumah ada motor nganggur ya." 
Ada dua hal. 
Satu, rumah saya memang di pinggir jalan raya. 
Dua, saya memang tidak bisa dan belum mau belajar naik motor lagi sejak kecelakaan kelas dua SMP. Tidak mau, karena saya semakin ngeri dengan pengendara motor jaman sekarang. 

Malam sebelumnya saya baru saja membereskan logistik selesai perjalanan. Saya menemukan setumpuk tiket kereta. Cirebon, Jogja, Malang, Surabaya, Solo, Kroya, Bandung, Semarang, Rangkasbitung. Dari mulai tiket Ekonomi, Bisnis, serta Eksekutif. Saya merasakan masa transisi penghapusan kereta Ekonomi di Pulau Jawa. Ambisi saya yang belum terwujud adalah merasakan naik kereta di Pulau Sumatera. Namun terlepas dari masa depan itu, masa lalu yang tertulis di tiket-tiket itu membawa saya kembali ke masa lalu. Tepatnya tiga tahun silam ketika saya memutuskan naik gunung pertama kali, berdua saja. Ketika saya tanpa pikir panjang menyambangi organisasi pencinta alam kampus yang tersasar di Ciremai meski sedang pekan UAS. Ketika saya memutuskan pergi sendirian dari sebuah ketidakpastian. Ketika saya harus bertengkar kemudian menemui kakak saya sendirian yang kuliah di UGM. Ketika saya kembali sendirian pergi ke ujung timur Jawa mencari sisa-sisa kebahagiaan yang tercecer di sana. Ketika saya telat 5 menit naik kereta. Dan ketika-ketika lainnya... 

Stasiun dan gerbong kereta. Tempat paling romantis di dunia. Mungkin lebih dari puncak gunung. Kata seorang teman, stasiun telah menyaksikan tangis tulus melepas kepergian dan kebahagiaan sempurna menyambut kedatangan. Di setiap kedatangan dan kepergian kereta, ada yang merasa haru harus berpisah, namun juga ada yang haru karena ia kan pulang. Stasiun kereta telah menyaksikan betapa kita mau pergi ratusan kilometer untuk seseorang, juga mau menunggu sekian puluh hari untuk seseorang yang jarang ditemui. 
Stasiun kereta telah menyaksikan, bagaimana kebahagiaan manusia tergantung pada manusia lainnya. 
Sebuah mata rantai yang tidak ada habisnya. 

Dan kita di sana. 
Kita saling mendengar, untuk membiarkan sebuah ruang tetap kosong. 
Kita selalu melakukannya sebelum kereta akan melaju kencang membawa saya pulang. 
Ruang kosong itu menjaga agar kita tidak merasa apa-apa saat harus berpisah. 
Namun juga, ruang kosong itu kita jaga, untuk tetap kosong, yang pada akhirnya meminta untuk disinggahi kembali. 

Jakarta, 23 April 2014 
Selamat hari buku. 

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!