Monoton

Monday, May 12, 2014

File:Map of Malay Archipelago Wallace 1869.jpg


"You can journey for hours, even for days, and meet with nothing to break the monotony."


Begitu tulis Alfred Russel Wallace di penghujung perjalanannya menyusuri Nusantara seperti tertulis di buku The Malay Archipelago. Dalam buku tersebut, Wallace dengan rapi membagi catatan perjalanannya di setiap daerah menjadi kurang lebih 3 chapter; deskripsi geografis daerah tersebut, deskripsi kondisi ekologi daerah tersebut, serta peradaban manusia dan suku adat yang mendiaminya. Saya tahu selama ini saya mengidolakan orang yang tepat; seorang Biologist, Geographer, Anthropologist, dan sangat rendah hati untuk mampu mengakui masing-masing bidang ilmu dan menyampurkannya. Bagaimana kondisi bentang alam dan kekayaan ekologi suatu daerah berinteraksi pada kebudayaan setempat begitu pula sebaliknya. Seorang yang sangat brilian bahkan membuat Charles Darwin segera menerbitkan buku The Origin of Species - panik karena Wallace yang saat itu lebih muda 20 tahun darinya memiliki gagasan yang sama mengenai seleksi alam. Meski National Geographic menggambarkan mereka berdua sebagai rival, nampaknya Wallace justru menaruh rasa hormat begitu besar pada sang suhu Darwin sebagaimana ia tulis di acknowledgment bukunya:


"

To Charles Darwin
Author of The Origin of Species
I Dedicate this Book
not only
as a token of personal esteem and friendship
but also to express my deep admiration
for his genius and works
"

Wallace begitu mengagumkan. Ia menorehkannya dengan jelas di kepulauan Nusantara ini dengan hadirnya garis Wallace - garis imajiner yang memisahkan ciri-ciri hewan Australia dan Oriental. Kerendahan hati yang jarang dimiliki peneliti abad ini untuk mengagumi kejeniusan orang lain adalah suatu sisi mengagumkannya yang lain di mata saya. Abad ini, jangankan peneliti - orang biasa yang tidak memiliki intelijensi akademik di social media pun kerap berkomentar asal dan sulit mengakui benarnya opini orang lain, menghakimi tanpa mencari tahu -- a priori.

Wallace mengajarkan saya dalam bukunya bukan hanya mengenai kekayaan alam Indonesia dan tetangga; Malaysia serta Papua Nugini. Kesabarannya dalam mengoleksi spesimen demi spesimen kemudian dikirim ke Inggris satu per satu, kemauannya berbaur dengan berbagai jenis manusia yang ia sebut dalam bukunya sebagai "Raja", "Orang Kaya", atau pria muda yang ia ajak untuk berburu spesimen adalah benar-benar perilaku peneliti sejati. Memulai hal besar dengan pertanyaan sederhana, menelitinya dengan penuh kesabaran, menjawab pertanyaan sebelumnya, untuk kemudian memulai pertanyaan besar yang baru.

Ia juga begitu rendah hati untuk mengakui bahwa perjalanan tidak selamanya menyenangkan meski menghasilkan sebuah teori besar. Ia berkata, kita bisa saja tidak menemukan apapun untuk memecah kemonotonan dalam perjalanan. Ini bukan soal berapa kilometer jarak yang sudah ditempuh atau berapa ribu spesimen yang sudah dikirim untuk diidentifikasi melalui petualangan selama delapan tahun.
Ini bukan soal kau pergi ke mana, berapa luas langit di atasmu atau berapa banyak gunung yang mampu kau daki.
Ini soal berapa yang mampu kau himpun dari perjalananmu untuk dijadikan pelajaran.

Di penghujung bukunya ia memberi sebuah kesimpulan yang cukup menyentak bagi target pembacanya (menurut saya warga Inggris saat itu, tahun 1869) bahwa tidak ada satu peradaban pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya lebih superior dibanding yang lain. Inggris pada saat itu berpendapat sudah maju secara peradaban, "the perfect social state", tapi nyatanya peradaban maju itu menciptakan buruh-buruh berupah kecil yang tidak Wallace temui di peradaban masyarakat adat Nusantara. Ia menantang kaumnya sendiri untuk menjelaskan pernyataannya yang sederhana:

"We are the richest country in the world, and yet nearly one-twentieth of our population are parish paupers, and one-thirtieth known criminals."

Ada banyak kontradiksi saat negaranya mengklaim mereka adalah bangsa termaju dan masyarakat adat di pedalaman adalah suku-suku terbelakang.

"A great landholder may legally convert his whole property into a forest or hunting-ground, and expel every human being who has hitherto lived upon it. In a thickly-populated country like England, where every acre has its own and its occupier, this is a power of legally destroying his fellow-creatures; and that such power should exist, and be exercised by individuals, in however small degree, indicates that, as regards true social science, we are still in a state of barbarism."

Pertanyaannya,
apa perjalananmu sudah cukup menyembuhkanmu dari kemonotonanmu?
Membuka matamu akan permasalahan sebenarnya bangsa ini yang jauh lebih besar dari masalah pribadimu?
Bukan justru menjadikanmu seorang penggerutu,
membuat asumsi sederhana bahwa masalahmu sudah paling berat dan kamu adalah orang terpintar yang mampu menangani masalah itu.

Dan Wallace sudah jauh mengajarkan kita sejak abad 19, bahwa di atas langit, masih ada langit.
Di usianya yang 46 tahun, ia dengan catatan perjalanannya berhasil mengatakan dengan jelas bahwa bumi ini terlalu luas untuk klaim bahwa negara sudah maju dengan adanya perbudakan dan pengusiran masyarakat dari sebuah lahan.
Di abad 19, ramalan permasalahan Indonesia abad ini sudah tertulis di bukunya.
Namun Wallace masih saja mengatakan bahwa perjalanan panjangnya hanyalah untuk menjawab pencariannya akan Bird of Paradise di ujung timur Nusantara.

Memulai perjalanan, bukan sekedar untuk sembuh dari kemonotonan hidup.
Memiliki target menapaki puncak gunung atau menaklukkan arus deras.
Bukankah itu juga monoton?
Target-target imajiner yang serupa, hanya untuk menunjukkan gambar pada teman bahwa kita sudah sampai di sana.
Tapi memulai perjalanan untuk memecahkan keheningan dan mendapatkan ilmu, nampaknya itu yang membedakan perjalanan sekedarnya dan perjalanan luar biasa.

--

Two things define you.
Your patience when you have nothing, and your attitude when you have everything.

You Might Also Like

4 comments

  1. Very evocative post Puspita. I guess you know Darwin's prediction for psychology too: ‘In the distant future I see open fields for more important researches. Psychology will be based on a new foundation, that of the necessary acquirement of each mental power and capacity by gradation.’ (The Origin of Species)...

    ReplyDelete
    Replies
    1. kinda bit envy with past condition when intellectuals can expert many subjects in advance and then make a strong prediction based on their expertise(s)...

      Delete
  2. "Ini bukan soal kau pergi ke mana, berapa luas langit di atasmu atau berapa banyak gunung yang mampu kau daki.
    Ini soal berapa yang mampu kau himpun dari perjalananmu untuk dijadikan pelajaran."

    <--- itu kalimat gue banget hahaha, lo mencuri kalimat gueeeeee.
    #komengakpenting

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalimat lo di mana? Sok deket ah lo sama gue
      HAHAHA

      Delete

Let's give me a feedback!