Selamat Berpesta: Cerita Pilpres 2014

Wednesday, July 09, 2014


Saya menulis ini bukan sebagai bentuk dukungan pada calon presiden manapun.
Tulisan ini adalah bentuk apresiasi saya bagi kedua capres dan seluruh bangsa Indonesia.

-------------------------

Tentang Kedua Capres

Saya selalu memandang sosok Prabowo Subianto sebagai seorang yang cerdas. Bagaimana tidak, di tengah karir militernya ia dibiayai menempuh pendidikan di negara-negara bergengsi. Sebagai anak dari begawan ekonomi Indonesia yang juga pendiri BNI 46, beliau pastinya dididik dengan baik dan penuh dengan sains dimana-mana. Bacaan-bacaan pak Prabowo bukan bacaan biasa. Pidato-pidatonya dan interview dengan wartawan asing selalu memukau, tak heran, ia menempuh pendidikan di luar sejak SD, ia telah melihat bangsa maju dan pasti ingin membawa negara ini menyaingi mereka. Ia juga memiliki pembawaan tegas, satu hal yang saya jarang lihat di sosok-sosok pemimpin negeri ini, dan sebenarnya memang dibutuhkan bangsa yang penuh maklum ini (maksud saya, motor melawan arus dimaklumi, korupsi dimaklumi, video porno beredar pun dimaklumi dan sang artis disambut dengan hangat kembali). Tidak luput organisasi kemahasiswaan kampus saya yang saya lihat terkadang penuh maklum, dengan dalih kita harus berempati dengan orang lain. Saya setuju dengan pak Prabowo, orang bersalah, harus ditindak tegas. Tidak ada pilihan lain. Meski didukung salah satu media besar Indonesia, tadi siang pak Prabowo juga sempat menyindir wartawan "wartawan tuh ya, susah gitu kalau gak ada berita yang seksi. Wartawan, wartawan..." di Kompas TV. Beliau pebisnis, beliau pasti mengerti bagaimana bisnis media bisa mendatangkan banyak uang, dan karena itulah, dapur harus tetap menyala dengan berita-berita yang, yah... mungkin masih berasaskan "bad news is good news". Saya juga menghormati kebijakan-kebijakan para kadernya di Gerindra seperti pak Ahok dan kang Emil. Bukan berarti bersih, saya juga tidak menyukai bisnis beliau dan lingkaran koalisinya di bidang pertambangan batubara dan migas. Juga...HAM. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan kasus anak Hatta Rajasa dan anak Ahmad Dhani yang menabrak orang dengan mobil mewah mereka, dan kembali lagi, saya juga tidak percaya kebanyakan media pada sekarang-sekarang ini. Saya juga sebenarnya tidak bisa memaafkan beliau saat tahu ia memelihara elang di rumahnya. Kalaupun ia punya izin memelihara, sungguh, warga Indonesia ini senang memelihara satwa liar karena kebanggaan. Dengan pengetahuan mereka bahwa sosok idola bangsa ini memelihara satwa liar, pasar satwa liar pasti akan langsung ramai. Saya juga tidak tahu pasti keterlibatan pak Prabowo pada tragedi '98, yang saya tahu, ada mahasiswa mati dan warga Tionghoa yang diperkosa, dihina, trauma. Mungkin saat itu mereka mengalami PTSD? Bagaimana pula kasus lumpur Lapindo yang sekarang sudah berubah menjadi situs maha dahsyat jika Anda bepergian ke arah Malang dari Surabaya? Maka saya, sebagai alumni Psikologi, sangat tidak ingin kejadian tersebut terulang. Ketegasan - terkadang ada batasnya.

Saya memiliki sudut pandang lain untuk Joko Widodo. Dulu, saya pernah mampir ke Solo paska kepemimpinan pak Jokowi (periode kedua) dan hati saya tertambat pada kota tersebut. Rapi, tidak macet, pasarnya menyenangkan, wisata kebudayaan optimal. Ia hanya lulusan S1, tidak seperti presiden inkumben saat ini yang memang pada saat berada di militer dijuluki tentara intelektual. Ia hanya lulusan S1, yang mampu membuat pedagang kaki lima, preman, warga di bantaran kali, rela pindah dan ditertibkan. MRT, yang selama ini wacana, kini mulai nyata dibangun. Jakarta butuh transportasi publik, dan saya yakin, yakin sekali, masalah orang Jakarta memilih naik kendaraan pribadi adalah tidak nyamannya kendaraan umum di Jakarta. Dari preman, pengamen, panas, ngetem, dan sebagainya. Jika MRT selesai, saya yakin besar jumlah orang yang mengkonversi pilihannya untuk naik kendaraan umum. Kita akan semakin mengejar ketertinggalan dengan bangsa Eropa. Rekam jejak bersih, juga kerap menggunakan sepatu sneakers kemana-mana. Meski bukan orang miskin, ia mau duduk dan berdiri sejajar dengan rakyat. Hal yang paling berkesan untuk saya adalah perkataanya, "saya bukan bagian umat muslim yang suka mengkafirkan sesamanya". Kita berada di era social media, di mana konflik horizontal yang mengancam kerukunan umat beragama tersebar di seluruh penjuru ruang bicara. Tapi mengingat jabatannya belum selesai, dan juga sang wanita ketua partai masih duduk di sana, saya takut independensi juga tidak akan berdiri tegak. Manusia bisa mati, namun tidak halnya dengan ideologi, bukan? Begitu kata para filsuf. Salah seorang teman bilang ia oportunis. Oportunis atau tidak, sebagai pebisnis saya tahu beliau akan sanggup melihat peluang. Namun apakah diambilnya peluang itu karena aji mumpung atau mau menawarkan solusi, biar menjadi privasi beliau. Perilaku manusia didasari intensi, dan sesungguhnya intensi itu sangat sulit diukur. Saya tidak akan lupa juga bagaimana cawapres dari pak Jokowi yang mencanangkan percepatan listrik 10.000 MW, khususnya untuk mendukung industri di Jawa-Bali yang berujung dengan pengerukan batubara dan pembangunan PLTN. Saya tidak lupa, bahwa beliau juga ada di film dokumenter Jagal: The Act of Killing dan terdokumentasikan mendukung gerakan paling pro-kekerasan menurut saya. Berbaur dengan rakyat - terkadang juga harus selektif, rakyat yang seperti apa.

Keduanya tidak bebas dari dosa lingkungan. Tidak bebas dari dosa partai, atau pendahulunya. Saya kira semua orang begitu. Termasuk saya, dan Anda yang membaca tulisan ini. Maka menurut saya, pendukung fanatik salah satu capres tanpa memahami konteks apa yang dibelanya, atau berpemahaman bahwa capresnya sempurna, adalah yang sesungguhnya lebih buta politik dari mereka yang apatis. Mengenal politik artinya belajar untuk berkhianat, dan akan selalu begitu. Ingatkah Mega-Prabowo pernah mencalonkan diri sebagai Capres-Cawapres 2009? Semoga tidak lupa ya.

-------------------------

Tentang Pemilu 2014


Saya tahun ini berusia 21. Baru 21. Maka, pemilu ini resmi menjadi pemilu presiden pertama saya sebagai WNI. Namun sebagai pengamat social media, saya merasakan ketegangan itu. Beberapa orang menjadi lebih agamis dan berkata “sudah berdoa saja supaya Tuhan memberikan pemimpin terbaik.” Ada sebuah teori bernama SJT atau System Justification Theory, yang mengatakan bahwa religiusitas dan nasionalisme adalah dua sistem yang keberadaannya selalu dijustifikasi oleh kita. Saat salah satunya sedang berkurang, maka sistem lain akan menguat agar kita tetap stabil. Maka, saat kondisi pemilu (kondisi bangsa tidak stabil, entah akan kemana), religiusitas akan meningkat. Menarik memang, karena saya buktikan sendiri kebenaran teorinya.


Agama kemudian menjadi bumbu dimana-mana. Hal yang saya sesalkan, paling saya sesalkan, adalah soal ibunda yang beragama Kristen. Pada awal masa kampanye dimulai, banyak pihak mengatakan ibunda Jokowi Kristen. Kemudian, kubu Jokowi tentu saja membalas dengan fakta, bahwa memang ibunda Prabowo yang beragama Kristen. Yang saya sesalkan adalah bukan soal black campaign-nya. Tapi soal: lalu kenapa kalau ibu-nya beragama Kristen? Apakah salah menjadi orang beragama Kristen? Kalau salah, apa bedanya dengan menjadi beragama Islam, Buddha, Hindu, Konghucu, Katolik, Koptik? Saya yakin semua agama menyarankan menghargai agama lain agar terciptanya kerukunan. Saya sekamar dengan seorang teman baik yang beragama Katolik, tapi lalu kenapa? Ia justru menemani saya sahur, memasak bersama saat sahur, mengingatkan saat saya sholat terburu-buru, dan tidak pernah berkomentar macam-macam soal agama kami berdua. Saya melihat postingan Prabowo mengucap selamat Natal sebagai bentuk penghargaannya kepada ibundanya, dan juga sikap Jokowi memilih Ahok sebagai wakilnya di Jakarta. Apa sebenarnya, kedua capres tidak pernah mempermasalahkan agama, namun justru pendukungnya yang mempermasalahkannya? Berhentilah memberi tautan pada media provokasi, pilihlah media yang menurut Anda beritanya cukup netral, komprehensif, dan objektif. Ada pula yang memaksa saya menyukai pilihannya dengan menge-tag saya pada tautannya mengenai capres pilihannya. Saya bukan orang seperti itu, saya tidak akan termakan provokasi Anda, sekalipun Anda saudara saya. Jadi maaf, saya menolak tautan Anda. Bagi kawan yang bekerja di media, saya cukup sedih juga, bahwa beberapa waktu lalu Sinabung meletus, namun sama sekali tidak mendapat perhatian. Apa kabar pengungsi yang masih terbengkalai, sampai aksi mogok makan di Jakarta? Pesta ini sudah menarik semua perhatian rupanya, sampai-sampai quick count setiap stasiun televisi dibuat unik dan berbeda :)

Di sisi lain, saya bangga. Banyak orang yang saya kenal sebelumnya selalu golput namun kini ikut memilih. Meluangkan waktu ke TPS untuk mempercayakan arah bangsa ini. Tampak sederhana? Bagi saya tidak. Orang-orang itu adalah aktivis garis keras, yang membela hak rakyat kecil nun jauh (pokoknya jauuuh banget dari Jakarta), baik di bidang agraria, energi, pertambangan, dan hak asasi manusia. Hal yang paling saya kaget adalah seniman pun kini turun tangan dan menentukan sikap. Saya penyuka musik indie, musik aliran para pejuang yang tidak akan berada di haluan mainstream, meyakini apa yang mereka yakini benar. H-1 pemilu, saya kaget dengan video band Efek Rumah Kaca yang telah menentukan sikap mereka. Saya kenal band Efek Rumah Kaca dulu saat browsing tentang kasus Munir. Mereka membuat sebuah lagu khusus “Di Udara” untuk Munir. Lagu-lagu mereka adalah soal perjuangan, ilmu, tirani, kebebasan, lingkungan. Isu-isu minoritas, dan mendengar mereka seperti benar-benar kalimat “seni adalah media kritik pemerintah” menjadi nyata. Saya pikir selamanya mereka akan teguh bahwa pemerintahan kita tidak akan sempurna, dan akhirnya mereka kini menentukan sikap. Begitu pula Slank, band rakyat terbesar di Indonesia, yang juga aktif dalam penyelamatan satwa liar di Manado dan juga melawan pertambangan Pulau Bangka. Juga Teknoshit, band aliran elektro asal Jogja yang keras lantang mengkritik pemerintahan dan tirani, sudah menentukan sikap. Ini benar-benar pesta rakyat! Semua bisa bersorak dan menentukan sikap, saya cinta suasana ini! Saya sendiri berbeda pendapat dengan Ayah di rumah, dan rumah saya tetap nyaman dihuni.

Justru saya masih sedih melihat kawan yang memilih diam dan bisu, namun akan tetap melawan siapapun yang terpilih. Bagaimanapun, orang miskin di sudut kota, pelacur di gang Dolly (dulu), peminta-minta di pinggir jalan, adalah buah dari sistem pemerintahan. Bagi saya, kita tetap tidak boleh tinggal diam. Bersikaplah, pilih prinsip, dan hidup dengan segala konsekuensinya.

Pesta rakyat ini belum usai. Masih ada kemungkinan Pilpres putaran kedua, dan saya harap tulisan ini tidak akan mengubah prinsip Anda sama sekali, baik memilih calon no.1 atau no.2 di putaran selanjutnya, jika benar terjadi. Saya hanya ingin mengapresiasi, dan saya akan jauh lebih mengapresiasi lagi jika kecaman kerusuhan jika salah satu capres tidak terpilih, tidak akan terjadi. Fanatik membela satu orang, saya rasa tidak ada bijak-bijaknya sama sekali. Nabi sudah tidak ada, dan tidak ada lagi.

Terakhir dan paling penting, adalah penting untuk tidak membenci sesuatu yang tidak kita pahami. Maka, membenci sesuatu yang kita benar-benar pahami, bukan lagi kebencian, melainkan sebuah sikap. Dan sebuah sikap, akan sangat baik, jika tidak melanggar hak orang lain.

Saya ingin mengucapkan saya mengapresiasi Anda, siapapun Anda, yang menggunakan hak pilih dengan bijak dan pribadi, menghormati pilihan orang lain, dan tetap menyenangkan.
Selamat berpesta!

Ingat, pesta tidak akan menyenangkan ketika satu orang saja sudah mabuk, memukul orang, dan mengacaukan segalanya :)

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!