Komprehensif

Wednesday, October 22, 2014

Membaca buku perjalanan bukan berarti kita memiliki perjalanannya, kan?
Albert Einstein pernah berkata bahwa kita belum cukup mengerti jika kita belum bisa  menjelaskannya dengan sederhana.

Dosen panutan saya pun berkali-kali meminta saya revisi skripsi dulu karena hal tersebut. "Tulisan kamu ribet, bisa gak kamu bikin skripsi bagus dan tidak lebih dari 100 halaman? Psikologi itu ada untuk membuat orang mengerti dengan pemahaman yang sederhana. Empatilah dengan pembaca, penulis itu sama saja kayak penjual nasi goreng. Kalo masakannya gak enak, ya saya berhenti makan." Berulang kali saya memutar pesan itu di ingatan. Ironisnya, saking "humiliated"-nya psikologi, saya merasa semakin banyak orang yang memudahkan cabang ilmu ini. Dosen filsafat saya juga pernah berpesan di kelas "kita ini belajar ilmu, yang semua orang pikir, mereka bisa mengerti tanpa perlu mempelajarinya." Kasarnya, semua orang sok jadi psikolog. Sok jadi pembaca pikiran, sok membaca orang lain. Kenyataannya, bukan itu yang kami pelajari di sini.

Akhir-akhir ini saya sedang berkutat dengan algoritma kuis-kuis pop yang sedang marak di internet. Seberapa perhatiankah kamu? Seberapa menarikkah kamu? Tipe orang seperti apakah kamu? Semua orang dengan sukarela mengisi dan membagi hasilnya dengan orang lain. Kondisi yang jauh berbeda jika kita meminta orang mengisi psikotes atau mengikuti penelitian. Mereka cenderung denial, cemas, dan takut. Ada beberapa kemungkinan kenapa orang lebih ingin mengisi kuis-kuis pop tersebut (e.g. Buzzfeed, Playbuzz). Pertama yang membuat asesmen terhadap mereka adalah engine atau mesin. Tidak ada campur tangan orang atau psikolog langsung saat mereka menjawab. Ketakutan akan adanya social comparison akan mereda. Kedua, anonimitas. Mereka bisa mengikuti kuisnya secara anonim sehingga ketakutan eksistensi bahwa yang menilai tahu siapa kita akan mereda. Jika hasilnya baik, dibagi di social media. Jika hasilnya tidak baik, bisa segera dilupakan. Ketiga, hasilnya selalu cenderung baik. Hasil tersebut meningkatkan self esteem kita sehingga kita cenderung lebih bahagia. Pada dasarnya perlindungan self esteem merupakan perlindungan diri yang fundamental bagi seseorang.

Tapi kuis-kuis pop itu membuat saya cenderung khawatir. Akan ada pergeseran pemahaman mengenai ilmu psikologi secara masif. Bahwa psikologi, adalah ilmu kita semua. Bahwa psikologi, adalah semudah menarik kesamaan beberapa trait dari sekelompok orang lalu digeneralisasi. Bahwa psikologi, adalah ilmu mudah dan "murahan". Kekhawatiran ini semakin muncul dengan banyaknya tulisan yang menampilkan kembarnya psikologi dan psikoanalisa. Bukan, psikologi bukan melulu artinya psikoanalisa. Psikoanalisa adalah bagian dari psikologi, tapi bukan menjadi makna psikologi itu sendiri. Pergeseran definisi psikologi itu sendiri dari psyche (jiwa) dan logos (ilmu) telah disepakati dari ilmu yang mempelajari jiwa menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku. Psikoanalisa adalah sebuah paham; aliran, yang sebenarnya di masa lampau pun para tokoh tidak mengkotak-kotakkan aliran tersebut - itu hanya kita manusia modern yang membagi kategori aliran-aliran psikologi.

Agak menyeberang sedikit, Aldo Leopold, seorang pelopor naturalis juga pernah berkata, upaya konservasi lingkungan terjebak dalam perjalanan selambat siput, mungkin karena kekurangan di bagian penyampaian edukasi itu sendiri. Lack of content, beliau bilang. Psikologi tidak lack of content, makin banyak buku-buku psikologi populer di toko buku. Ini adalah fenomena yang saya sebut dengan reduksi pemahaman. Bahwa psikologi = psikoanalisa. Psikologi = ilmu baca orang. Psikologi = dengar curhat. Konten penyampaian yang tidak dibarengi dengan ajakan untuk memahami.

Buat saya psikologi adalah eksperimen untuk menemukan cara mengubah perilaku seseorang. Behavioral change itu adalah fungsi utama psikologi. Katakanlah saya seorang behavioralis, tapi tak mengapa. Semua sub bidang psikologi pada akhirnya adalah soal behavioral change - bukan kuis populer. Psikologi klinis berupaya menyembuhkan seseorang dengan terapi, mengubah perilakunya. Psikologi pendidikan berupaya merancang sistem edukasi yang tepat untuk memodifikasi perilaku siswa. Psikologi organisasi berupaya mencari tahu cara pengelolaan karyawan terbaik agar bisa mendorong karyawan berperforma lebih baik. Psikologi sosial meninjau dinamika kelompok untuk merancang intervensi komunitas sosial. Coba pikirkan satu cabang psikologi dan tujuan akhirnya. Saya yakin pastilah itu modifikasi perilaku. Psikologi musik, konsumen, industri, dan lainnya.

Kami bukan pembaca mimpi, psikoanalisa hanya berusaha menginterpretasinya. Di era effect size dan confidence interval ini, psikologi sudah jauh dari itu. Psikologi sudah masuk ke ranah Psikologi Digital, Psikologi Ekonomi, Psikologi Arsitektur, dan lainnya yang lebih praktikal. Ada banyak yang menentang bahwa psikologi harus kembali ke akarnya, buat saya: Tidak. Psikologi mati-matian berusaha membuktikan bahwa perubahan perilaku dapat direncanakan dan dirancang, dengan mediator trait yang sudah terbentuk. Ini saatnya psikologi pergi jauh ke semua ranah yang membutuhkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku tidak dihasilkan dari penyimpulan psikologi yang tidak benar, sekedarnya, dan populer. Itu adalah proses panjang penelitian, yang di dalam penelitian itu sendiri pun sangat kompleks, pilot project, pra-post intervention, dan sebagainya.

Pada akhirnya, semua buah pikiran kita, dan cara penyampaian kita, akan melambangkan pemahaman kita. Bahwa komprehensi tidak akan muncul dalam bahasa yang sulit - namun juga bukan penyimpulan yang tergesa-gesa.

You Might Also Like

2 comments

  1. Satu insight yang kuingat dari kuliah FilMan pas materi sains: Sains itu bertujuan untuk simplikasi dunia, namun tidak untuk menggampangkannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju bal, itu omongan mas Aten ya? Soalnya yang gue ceritain di sini juga titah beliau. Hahaha.

      Delete

Let's give me a feedback!