Ujung Senja

Wednesday, December 31, 2014


Kata orang mirip itu jodoh. Saya tidak setuju. Itu hanyalah dalih simplifikasi hubungan interpersonal saja. Kenapa kakak adik tidak berjodoh? Padahal mereka mirip. Bukankah kemiripan seharusnya dihindari karena secara evolusi kita menghindari incest, dan berpasangan dengan orang yang mirip dengan kita dapat mengingatkan kita dengan keluarga kita? Atau mungkin ini adalah persoalan teori Attraction di Psikologi, bahwa jika kita menemukan kesamaan dengan orang lain kita akan tertarik dengan orang itu? Termasuk garis wajah? 

Apapun alasannya, saya tidak percaya mirip itu jodoh. Sejak kapan jodoh ada di tangan "kemiripan?" Apa karena raja-raja Eropa zaman dulu kerap menikah dengan sepupu lalu turun ranjang kala menyudahi pernikahan dengan yang pertama? Kemiripan itu berputar di lingkungan kerajaan. Tapi, kita bukan orang Eropa. Pun, saya tidak menggemari kisah raja-raja Eropa. Satu pun. Ini bukan kisah soal wajah, tapi saya sedikit menyesali bahwa karena wajah, saya tidak bisa mendapat satu-satunya yang paling saya inginkan di dunia ini. Yakni, senja. 

Di ujung senja saya menyapa punggungnya. Biasanya kami selalu punya waktu berdua untuk bicara soal dunia. Soal kasus korupsi pejabat daerah, remeh temeh sains, atau apapun sembari menunggu kereta pulang. Kami hanya tidak pernah membicarakan soal kami berdua. Ia terlalu sibuk dengan hal selain saya. 

Tidaklah sulit untuk mencintai seseorang saat kita merasa dicintai. Ia adalah seorang pria bebas yang sering bolos kelas untuk menjelajah Indonesia. Katanya, Indonesia lebih dari sekedar ruang kelas. Saya tahu nilainya berantakan, tapi ia selalu muncul di ujian akhir dan dapat lulus. Entah bagaimana. Intelektualitas yang ia tidak dapatkan di kelas. Mungkin ia mempraktekkan apa yang ia sebut dengan "Mahasiswa Antropologi harus belajar di tengah masyarakat. Khususnya masyarakat adat." Ia bercerita dengan fasih bagaimana pemahaman kepercayaan orang Badui, itu pun masih dibagi lagi menjadi orang Badui Dalam dan Luar, per kampung, orang Bima, orang Dompu, orang Nias, dan sebagainya. Ia jatuh cinta dengan keragaman pemahaman keagamaan, kepercayaan, dan keTuhanan. Katanya "kau harus tahu bagaimana kepercayaan itu terbentuk agar kau lebih mengenal kepercayaanmu sendiri." 

Ia tidak atheis. Pun tidak agnostik. Ia seorang Buddhis yang tetap makan daging. Alirannya membolehkan makan daging sebab ia tidak boleh menolak apa yang sudah ada di piring. Ia selalu mengatakan "ini bukan agama. Ini adalah kepercayaan, way of life. Jika menurutmu ini baik dan benar bagi dirimu, lakukanlah. Tidak akan kami memaksamu pindah agama." Tapi bagi saya agama tidaklah penting. Wajar bukan jika seorang mahasiswa Filsafat punya skeptisisme terhadap sistem bernama agama? Bahwa agama hanyalah sebuah cara agar manusia merasa lebih kuat dan ada Tuhan nun jauh di sana yang akan membantu kita kala kesusahan. Setiap mendengar penjelasan saya dia selalu tersenyum. "Bey, life is free. Kau boleh lakukan apa yang kau suka karena itu adalah pilihanmu. Lakukan apa yang menurutmu benar dan biarkanlah orang lain melakukan apa yang menurut mereka benar. Jika kau seorang evolusionis, kau pasti tahu kita semua berebut hidup. Kita berebut ruang dan sumber daya. Kita berebut nafas yang terbatas dan untuk itu kita punya kepercayaan. And every living thing has their own freedom to believe. Aku tak memaksamu percaya ajaran Buddha, dan kau tidak boleh memaksaku percaya apa yang kau percaya. Itu tidak dibenarkan. Sejak kapan atheis harus menjadi satu-satunya kepercayaan di dunia? Mati-matian membuktikan Tuhan tidak ada sama saja dengan percaya bahwa Tuhan itu ada kan?" 

Saya hanya bisa iri. 
Ternyata kebebasan pria semerawut ini menjadikannya lebih bijak dari saya yang selalu ada di ruang kelas mendengarkan para dosen filsuf itu berkisah. Itulah mengapa tiap sore saya ada di bangku stasiun kereta yang sama menunggunya agar bisa pulang bersama dan mendengar kisahnya dari ujung pulau. Jika sedang tidak bepergian, ia akan pulang menjelang senja habis karena melakukan freelance ini itu agar dapat membiayai perjalanannya. Ia juga biasanya akan bercerita jika esok hari akan bepergian sehingga saya tidak perlu menunggunya. Tidak perlu jadi cenayang baginya untuk tahu bahwa saya selalu menunggunya. Karena di sebuah senja, ia pernah memergoki kebodohan saya. Ia baru saja datang kala itu. 

"Bey? Kenapa belum pulang? Lima menit lalu bukankah ada kereta?" 
Dan saya cuma tersenyum lalu dia berkata, "terima kasih sudah menunggu saya." 
Ada hening sejenak setelah itu. Namun saya tahu ia tersenyum. 

-------- 

"Bey, kereta ini fantastis ya." 
"Kenapa Wik?" 
Nama aslinya adalah Wikana. Katanya, ayahnya mengharu biru saat membaca peristiwa Rengasdengklok dan hanya ingin menamakan putranya kelak Wikana. 
"Yah, kereta itu melaju tanpa peduli. Kita melewati orang-orang yang terpaksa berhenti karena kereta lewat. Kereta masih jadi transportasi massal yang kugemari, karena ia bersahabat dengan rakyat kecil dibanding pesawat. Di negeri ini, jika kau naik pesawat, kau akan dikira orang kaya. Jika kau naik kereta, kala orang tidak tahu kelas apa yang kau naiki, kau tidak akan dicap sebagai orang kaya maupun orang miskin." 
Saya tidak menjawab karena biasanya Wik akan segera melanjutkan. 
"Bayangkan jika sebuah kereta yang menghubungkan dua daerah namun memiliki zona waktu berbeda. Ia membawa orang pergi melintasi ruang dan waktu, tidak kalah dengan pesawat." 
"Itu kenapa kau selalu memilih pergi dengan kereta meski ke luar kota sekalipun Wik?" 
Ia terdiam. Di tarikan nafasnya yang keduapuluh, ia mulai bersuara. 
"Kau tahu tidak Bey, meski aku sudah mengunjungi banyak daerah dan bertemu beragam rupa di puluhan kereta yang kunaiki, aku tidak tahu rasanya mengagumi seseorang. Aku pernah bertemu dengan seorang wanita cerdas luar biasa yang akan berangkat menuju Jakarta dari Surabaya untuk mempresentasikan studi S3-nya. Masih muda, yah lebih tua tiga tahun dari kita. Studinya mengenai purifikasi air. Tapi aku tidak bisa mengaguminya." 
Kini aku yang terdiam. 
"Kau tahu tidak cinta itu apa?" 
Saya bukan filsuf cinta. Saya tidak menjawab. Ia lelah menunggu jawaban saya dan akhirnya berkata, "ternyata kereta tidak sefantastis postulatku tadi ya." 

Kami berpisah dalam diam. Ia tidak mengenal cinta. Saya, hanya bisa merasakan apa itu cinta. Yang saya tahu saya menunggunya tiap senja dan ingin selalu bertemu dengannya. Mendengar ceritanya, melihat senyumnya. Melihatnya bahagia dengan masyarakat adat yang baru ia datangi. Bagi saya itu cinta. Sederhana saja. Dan kemengertiannya akan saya sudah saya anggap sebagai cinta. Buat saya ini adalah sebuah keuntungan. Jika ia tidak mengenal cinta, ia tidak akan mencintai orang lain dan senjanya akan tetap menjadi milik saya. Saya pikir ini bukanlah sebuah kesalahan logika. 

Suatu waktu pernah ia bawakan kain tenun untuk saya. Katanya cantik seperti saya. Momen yang terjadi dengan singkat di bangku kereta yang sepi karena kami melawan arus tenaga kerja. Bagi saya, kereta fantastis. Wik kemudian akan pergi ke Lampung. Mencari lumba-lumba, katanya. Saya pikir bercanda, ternyata ia serius. 

"Nanti kalau di Lampung kutemukan lumba-lumba cantik akan kuanggap itu kau Bey." 

Ah tidak, Bey. Jangan jawab. Kadang kepemilikan semu ini bisa berujung kesedihan. Kesedihan adalah racun otak. Merusak raga perlahan dan membawamu pada suram. 
Meski logika bicara, senyum tetap ada. Dan aku menyesalinya seumur hidup. 

------ 

Perjalanan Wik ke Lampung membawanya kepada beasiswa fotografi di Amerika. Setelah lulus magister bersama dan perjalanan kereta pulang usai sudah, ia berpamitan untuk pergi. 

"Apa rencanamu Bey? Ah kau pastilah jadi dosen filsafat yang selalu memiliki kata-kata emas dan akan digemari mahasiswa. Pelit bicara tapi kata-katanya berlian." 
"Wik, masa depan bukanlah untuk jadi humor jenaka." 
"I don't put any humor on you Bey, itu serius. Dari semua diskusi rasanya akulah yang 80% bicara. Tapi aku tahu kata-katamu itu selalu dipikir. Pastilah saat kita bicara ini ada ruang-ruang di otakmu yang akan menciptakan berbagai hitungan dan kontemplasi mengenai pembicaraan kita. Setelah kau hitung dan kau timbang, barulah kau bicara." 
"Sebabnya Wik, kata adalah satu hal yang dapat kau berikan tanpa bisa kau tarik kembali kepemilikannya." 
"Tuh kan, kau itu pujangga Bey!" 
"Sudahlah, kita bicara yang lain saja." 
"Oke, Bey. Aku akan menikah." 
Dan tanah yang kupijak serasa bergoyang. 
"Atas nama?" 
"Tentu saja atas namaku dan dia." 
"Bukan. Maksudku, atas nama cinta? Kau bukan tipikal orang yang percaya cinta, Wik. Jangan lupa kau pernah bilang itu saat kau akan ke Lampung. Sebelum kau selesaikan tesismu soal perkawinan dan kepercayaan suku Dayak." 
"Kau tahu tidak Bey kalau semesta itu lucu?" 
"Tidak. Semesta itu tidak lucu Wik. Kau tentu tahu kata Einstein Tuhan tidak berjudi saat menciptakan dunia ini -- meski aku tak percaya Tuhan." 
"Kau harus dengar ceritaku." 

Aku tidak ingin Wik. Karena semestaku baru saja runtuh mendengarmu akan menikah. Setelah sekian tahun kumilikimu dalam kebebasan tidak akan mencintai siapapun selain senja kita. 

"Jadi..." 

Jangan, Wik. Bunuh saja aku. 
Tapi Wikana sekali lagi tidak peduli. Ia lanjut bicara. 
"Di Lampung aku bertemu dengan dia. Dia sudah lama tinggal di Amerika, menjadi salah satu editor majalah fotografi. Ia yang mengenalkanku pada lembaga donatur beasiswa fotografi itu, Bey." 
Aku merasa aku akan sarkas di detik selanjutnya. 

"Jadi, kau akan menikah dengannya karena dia adalah dewi fortuna mu? You get the gold dan menikahinya agar mendapat emas yang lain?" 

Ia tampak terkesiap. 
"Tidak, Bey..." Bibirnya bergetar. Aku tak menyesal dengan kalimatku. Ia terdiam beberapa saat. Rautnya tidak marah. Ia tampak sedang menyusun kata-kata. 

"Ini bukan soal beasiswanya. Tapi baru kali ini aku merasakan pasangan yang bisa melengkapi kekosongan jiwa. Berbicara dengannya melengkapi reruntuhan gedung logikaku sehingga utuh kembali. Ia bangun perlahan tanpa usaha besar." 

Tanpa usaha besar? Beruntung sekali dia! Sementara aku selalu menunggumu di akhir senjamu hanya untuk 45 menit perjalanan kereta mendengarmu bercerita! 

"Kupikir Wik... Aku bisa melengkapi jiwamu." 
Aku tak tahan lagi. 

"Bey, bicara denganmu menyenangkan. Tapi aftertastenya adalah mempertanyakan hal baru yang lain akibat komentarmu. Bukan melengkapi tanda titik di kalimatku. Kau pasti mengerti kan?" 

Tidak. Aku tidak mengerti. 
Aku tidak mengerti kamu, Wik. Sama sekali. 

"Ya sudahlah. Tapi semua orang bilang kami mirip. He he he. Katanya kalau mirip kan jodoh." 

"Sejak kapan kau percaya mitos?" 

"Aku anak Antropologi Bey. Selama mitos itu adalah bagian dari budaya, aku menghargainya. Kupikir kau paham itu." 

"....aku tidak paham kau, Wik." 

"Itu sebabnya Bey, kau tidak bisa melengkapi jiwaku. Kau sibuk dengan beragam pertanyaan untuk dilontarkan kembali dan pernyataan agar orang berpikir ulang dengan apa yang ia  percaya. Secara tidak sadar, kau memutar mereka ke arah yang kau inginkan. Kau benci penolakan. Kau menunggu, tapi tidak suka ditolak." 

Aku terhenyak. Wikana ternyata memahami aku lebih dari yang aku resapi. 

"Aku kadang menunggumu Bey. Untuk setidaknya berkata, 'Wik, ayo dong masuk kelas.' Atau, 'Wik, itu kerjaan freelancemu sudah dikirim belum? Bagaimana deadlinenya?' Tapi tidak ada. Aku tahu kau hanya menunggu ceritaku untuk memuaskan laparmu. Untuk dirimu sendiri. Tak ada soal aku. Padahal kau satu-satunya yang kutemui secara rutin setiap hari saat tidak di luar kota. Tapi kau seperti bunyi halus kereta saat akan berangkat. Hanya berbunyi pelan, kemudian lenyap diterpa angin. Tidak pernah mengingatkan, hanya ingin untuk berlalu." 

Setelah sekian puluh tahun tidak menangis, rasanya aku ingin menangis lagi mendengar Wik. 

"Kau menungguku Wik?" 
"Tapi kau tak datang, Bey." 

Ia melanjutkan, "dan saat semua orang bilang kami mirip baik fisik maupun pemikiran, aku merasa aku tidak perlu menunggumu lagi di peron 2. Senjaku selalu jadi milikmu, tapi senjamu tidak pernah jadi milikku." 

Wik.... 

"Rasanya wajar ketika ia menawarkan senjanya selamanya untuk kutunggu dan kami habiskan bersama." 

Wik.... 

"Aku akan menikah, Bey. Kalau kau tidak bisa datang, tidak apa. Kami menikah di Amerika 4 hari lagi." 

Wikana bangun dan membereskan tasnya, beranjak akan pergi. 

"Kau akan pulang naik kereta? Aku temani kau ya. Terakhir kali." Suaraku bergetar. Aku hanya ingin terakhir kali melihat punggungmu di gerbong kereta, berbalik menuju pintu dan pulang ke rumahmu, sebelum pemandangan itu menjadi milik orang lain. Aku sudah tak bisa memaafkan diriku untuk semua ini. Aku sia-siakan peluang memilikimu hanya untuk dahagaku akan ceritamu, yang kutukar dengan persepsi kemiripan wajahmu dengan orang lain. Kumohon, Wik. Izinkan aku... 

"Maaf Bey. Dia sudah di stasiun akan menjemputku. Aku harus mengurus visa. Lagipula ini masih siang. Percuma jika kau mengejar senja." 

"Kapan kau kembali ke Indonesia?" 
"Rasanya aku tidak akan pulang, Bey. Tidak akan ada yang menerima kami di sini." 
"Kenapa? Apa karena dia orang asing?" 
"Bukan. Karena dia seorang pria." 

-fin. 

You Might Also Like

4 comments

Let's give me a feedback!