Kampung-an

Wednesday, April 08, 2015

Candi Cangkuang

Dalam film "Fiksi", tersebutlah sebuah istilah "detachment", saat si tokoh Renta "mahasiswa psikologi" membuang semua koleksi figurin kelincinya meski ia amat menyukai kelinci. Katanya pada Mia, detachment perlu dilakukan agar kita tidak ketergantungan pada sesuatu secara berlebihan karena segalanya yang berlebihan tidak baik. Selama kuliah dulu di Psikologi, saya bahkan tidak mendengar istilah itu sama sekali. Attachment adalah satu pendekatan teori yang menggambarkan pada siapa dan bagaimana kita dekat dengan orang lain khususnya significant others (misal ibu atau pengasuh) saat masih kanak-kanak dan mempengaruhi gaya bersosialisasi kita saat dewasa. Tapi lawan katanya, detachment, tidak pernah saya dengar. Film "Fiksi" tersebut masih jadi film Indonesia terfavorit saya setelah AADC (bukan karena cinta-cintaannya, tapi background politik yang memaksa Rangga pindah ke Amerika Serikat).

Tapi agaknya tips dari film "Fiksi" itu lebih melekat pada saya ketimbang banyak jurnal penelitian mengenai "memaafkan" atau "melupakan", meski mereka tidak serupa. Beberapa waktu lalu saya kecanduan The Sims Freeplay sampai sudah banyak unlocking quest dan membangun rumah impian di bawah kaki gunung dengan uang hasil tabungan. Seorang sahabat bilang saya tipe orang yang mencintai apa yang saya lakukan ketimbang melakukan apa yang saya cintai. Jadi, saya sudah mencintai semua Sim saya dan hafal mereka satu persatu. Sampai pada satu titik saya menekan tombol detachment di otak saya dan meng-uninstall game itu dari hp saya.

Sedih? Tidak juga. Ternyata tidak seberat itu. Saat saya kehilangan peliharaan kesayangan saya, saya juga mempraktekkan strategi detachment ini. Semua barang yang mengingatkan saya dengan masa lalu termasuk mantan juga saya "detach". Dan percayalah, semudah itu. Jika itu tak terasa mudah, otak anda menipu anda.

---


Beberapa waktu lalu  saya kembali ditugasi ayah saya melipir ke beberapa desa adat di Bandung dan sekitarnya. Sebenarnya ada beberapa kampung adat yang dapat saya singgahi, tapi ayah saya cuma mau yang ada rumah adatnya. Akhirnya saya pergi ke Kampung Cikondang dan Kampung Pulo di Garut. Keduanya masih tradisional. Kampung Cikondang terletak di Cibiana, di arah menuju Pangalengan dari kota Bandung. Hanya tersisa satu rumah adat yang disebut Bumi Adat oleh Abah Anom Juhana, kuncen saat ini. Hal yang membuat kampung ini menarik di mata saya dari sudut pandang Psikologi adalah, mereka memiliki banyak ritual mengenai Air. Hal tersebut dikarenakan mereka memiliki satu mata air yang tak pernah kering untuk dapat diminum airnya. Mata air tersebut tidak mengalir dari gunung. Penghargaan mereka akan air ini membuat saya sedikit mengasumsikan mereka meresapi air sebagai sumber penghidupan. Sama seperti bangsa air lainnya seperti Suku Bugis, mereka memiliki makna khusus akan laut dan gelombang. Mereka mengikuti arus air dan banyak mensyukuri restu alam. Kalau anda bertemu dengan Abah Juhana, saya yakin anda langsung merasa teduh melihat wajah "senyum" beliau. Saat kami hendak pamit, partner saya bertanya kalau kami akan ke sana bagaimana kami menghubungi beliau. Meski beliau memiliki motor di rumahnya, semua anaknya bersekolah hingga tinggi, ia tidak memiliki ponsel. Ia bilang, datang saja, asal tidak di hari pantangan, pasti akan ia sambut. Dan ia tampak senang karena itu pertama kalinya ia mendapat tamu dari UI, universitas yang jauh dari Kampung Cikondang.

Tanpa ponsel. Memang kebanyakan desa adat tidak membolehkan elektronik dan alat modern, tapi sebenarnya menurut saya adalah karena mereka tidak membutuhkannya. Kampung adat kebanyakan lahir dari suku yang dipimpin oleh wali atau raja lokal sehingga teritori mereka jelas. Mereka tahu sampai batas mana tetangga mereka dan mereka tahu rumah mana saja yang termasuk dalam entitas kampung mereka. Mungkin hal ini akan lebih jelas pada cerita Kampung Pulo.

Kampung Pulo

Kampung Pulo adalah kampung yang terletak di komplek Candi Cangkuang, dan dalam pulau yang terletak di tengah Situ Cangkuang tersebut, hanya boleh ada 7 bangunan dalam entitas Kampung Pulo. Saya bertemu dengan Pak Tatang Sanjaya, kuncen kampung Pulo tersebut. Beliau berkisah 7 bangunan itu dilandaskan pada filosofi perlambangan jumlah anak Sunan Arif Muhammad (yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam di tanah Garut). Beliau, yang makamnya terletak di sebelah Candi Cangkuang ini memiliki 1 putra dan 6 putri. 

Masjid Kampung Pulo

Satu putra digambarkan dengan bangunan masjid di tengah dan paling awal saat kita memasuki kampung, seperti layaknya imam yang membuka pengajian dan 6 putri adalah 3 rumah saling berhadapan dengan 3 rumah lainnya. Dalam satu rumah dilarang terdapat lebih dari satu KK. Maka, jika terdapat pria yang sudah dewasa dan berkeluarga ia harus keluar dari Kampung Pulo.

Rumah Kuncen

Runut aturan yang jelas tentunya membuat masyarakat kampung adat tidak memerlukan ponsel pintar. Untuk apa berbagi foto jika bisa berkumpul di teras salah satu rumah untuk berbagi kebersamaan, tak peduli apa yang orang jauh di sana lakukan. Yang saya perhatikan, rumah asli Kampung Pulo memiliki area yang sangat besar untuk dijadikan teras. Sama seperti rumah adat Betawi, sepertinya masyarakat tatar Sunda memang senang menerima tamu. Yah, interaksi berkualitas tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi di dunia maya tapi di teras kita. Hari itu saya tidak bernafsu mengeksplor kompleks candi, meski biasanya saya bisa berlama-lama menatap kaki atau sekedar pahatan candi-candi kuno. Rumah dengan panjang area 9 meter itu lebih menarik bagi saya.


---


Ketika kembali ke kota saya mendapat majalah National Geographic bulanan saya. Bulan ini, tepat dua abad Tambora meletus, mengubur kerajaan di bawahnya mirip seperti Pompeii yang terkubur letusan Vesuvius. Letusan Gunung Tambora, yang menjadikan Eropa saat itu tidak memiliki musim panas, menjadi ledakan terdashyat Setelah Masehi sejajar dengan Gunung Samalas di Lombok. Tambora, yang dalam bahasa setempat berarti "ajakan untuk menghilang", adalah gunung yang pernah "menghilangkan" WaMen ESDM kita beberapa waktu lalu. Bedah rumah adat di artikel Tambora tersebut rupanya tidak menarik bagi ayah saya, justru ia terfokus pada citra satelit Hubble dan kagum dengan foto-foto galaksi lain. Ia menunjuk salah satu foto galaksi kembar dan berkata, "bumi, kalau dipikir cuma sepersekian nodes di sini. Sementara kita di sini, masih mikirin hal-hal kecil yang nggak penting."

Tidak ada tanggapan lanjutan. Saya cuma menerka apa ia bicara soal kasus KPK vs Polisi vs lain lain atau Golkar Bakrie vs Agung Laksono atau kenaikan BBM atau lainnya, tapi saya terpikir satu hal. Agaknya kita memang masih meributkan banyak hal tidak penting sementara di Amerika sana, remaja berusia 16 tahun yang divonis autis saat masih balita sudah menjadi ahli fisika dan disebut-sebut akan segera mendapat Nobel.

Kita masih di sini mengetikkan jari di layar beberapa inchi kita sambil mengedit foto dan menghaluskan kulit wajah, menekan tombol share dan voila masuklah ke Instagram tanpa sadar siapa saja yang bisa mengambil data kita. Tentu, karena orang Indonesia malas membaca Privacy Policy. Kita masih meributkan status relationship di Facebook siapa menikah dengan siapa dan segera berangkat kuliah ke mana dibiayai oleh negara. Kita masih meributkan berapa besar dan anggun biaya pernikahan teman dan betapa lucunya anak -- yang sebenarnya lahir tanpa family planning. Anyway, saya banyak menonton Law and Order dan sadar betapa anak yang lahir di luar family planning sesungguhnya berdampak amat besar pada kehidupan anak itu sendiri. Kita masih meributkan hal-hal lain yang sebenarnya masih dalam progress dan hasilnya pun belum muncul.

Saya mungkin telah ambil bagian dalam itu semua, karena bekerja di internet platform developer. Tujuan saya cuma satu, saya ingin membuktikan kepercayaan saya bahwa umat manusia akan memiliki batas tertentu untuk menolak teknologi. Saya mencari batas itu.

Namun seiring waktu, saya sudah hampir tidak percaya akan batas tersebut, karena banyak hal terjadi. Selfie di pemakaman, memasang cover photo "Je suis charlie" padahal tidak punya pemahaman soal fanaticism, screenshot halaman IPK SIAK NG dan disebar di Facebook untuk menunjukkan Cum Laudenya, menyebarkan foto mayat di danau UI, dan lainnya. Youniverse, istilah  baru yang saya dapat dari 9gag. Kita tidak mengerti dunia yang lain karena cuma ada kita. Saya punya postulat bahwa level empati dewasa ini menurun sementara narcissism akan meningkat. Sampai batas manakah kita?

Sampai saya mengobrol dengan seorang teman yang desperate dengan postingan Facebook dan Path teman-temannya. Juga Instagram. Meski saya ogah jadi psikolog, seandainya saya diberi kesempatan bertemu ahlinya saya akan mendedikasikan diri saya untuk mengobati mereka yang kecanduan teknologi. Tapi, banyak psikolog yang terlalu skeptis dengan teknologi. Ujungnya, mereka tidak paham cara kerja dan kerumitannya. Jadi sama saja bohong. Sok tahu dan pintar memang beda tipis sekarang ini. Kasihan teman saya yang desperate itu. Dan tidak cuma satu. Facebook dibangun atas dasar kebanggaan akan status Harvard dan persaingan pride antar kampus. Pada akhirnya, ini yang ditularkan di Facebook. Persaingan pride implisit yang tidak kita sadari setiap detiknya. Saya tidak terbayang sudah berapa jumlah korbannya.

Nah, untuk mengantisipasi orang skeptis yang membaca tulisan ini saya akan memberi beberapa tips berteknologi.


1. Matikan hp saat tidur. Ini melepas ketergantungan dan juga tidur lebih nyaman. Tidak usah perduli dengan telepon tengah malam karena semua ada waktunya. Ini syarat detachment yang pertama.



2. Install app yang diperlukan. Tahap detachment selanjutnya. Meski saya kesannya ga promosi app buatan kantor saya, saya percaya jika anda membutuhkannya toh anda akan install dengan sendirinya. Btw, udah download Bango Warisan Kuliner? :-)


3. Anda harus sadar bahwa anda adalah konsumen sepenuhnya. Kami, para developer malah tidak begitu banyak aktif di social media atau app. Percayalah, saya bertemu mereka setiap hari. Konsumen yang harus bijak sendiri dengan menepis anggapan "semua orang melakukannya". Tidak, kami tidak melakukannya. Ketika konsumen menjadi pintar, saya yakin industri ini akan semakin maju dan juga pintar dan penuh tantangan. Ini akan menjadi barrier bagi mereka yang tidak berpengalaman susah memasuki industri ini, dan keuntungan juga buat saya.



4. Hapus semua possibility of connection dengan orang yang ingin dilupakan. Tidak perlu kepo, tidak perlu penasaran. Percayalah mereka juga punya motivasi untuk menunjukkan pada anda bahwa mereka "Oke" sepeninggalan anda. Terdengar seperti Mario Teguh memang, tapi ini proven sepanjang fenomena media sosial yang ada. Detachment finale.



5. Go with your life. Teman kita boleh menikah, kuliah ke luar negeri, punya anak, traveling, buang uang, sementara kita jadi orang biasa. Being usual is not a sin. Kalau saya lagi nggak pergi, weekend saya akan diam di rumah main ukulele, menjahit, makan dan nonton tv. Dan saya bahagia. Kenapa kita harus menjawab semua pertanyaan orang untuk kapan ini dan itu, sementara mereka juga tidak tahu jawabannya? Life is not made by God for us to answer people's question. But question yourself, what do you want to do? 

Inilah akhir dari tahap detachment digital kita.

Kampungan ya? Seperti kembali ke peradaban tanpa ponsel pintar. Tidak apa, karena gaya hidup Kampung asli Indonesia sebenarnya yang perlu kita contoh. Syukuri air yang mengalir untuk bisa kita minum, tanpa membuat riak tambahan yang tak perlu. Seperti kata Abah Anom Juhana, "untuk apa saya meminta lebih kalau hidup saya ini sudah cukup?"

Saya jadi ingin mempertanyakan kembali makna Kampungan bagi orang kota yang sudah tergila-gila status di dunia maya. Mungkin pula, saya termasuk di dalamnya.

You Might Also Like

2 comments

  1. Reading your blog post and drowning myself into your perspective make me happy. :p
    Funny how we (or 'I' in particular) keep seeking for meaning yet can't stop doing meaningless things. Thank you for reminding me to put some more effort in the art of detachment, Kak!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahah thanks for giving it a shot, Gum.
      Anyway, I am still wondering why we didn't learn about detachment in college.
      It is a simple concept though. Hahahah

      Delete

Let's give me a feedback!