Peneliti dan Krisis Identitas

Sunday, March 27, 2016

Bucket list saya: Indonesia Timur
Bulan ini akhirnya saya dapat mewujudkan salah satu bucket list dalam hidup; mengunjungi Indonesia Timur. Dan bukan hanya sekedar berkunjung, tapi juga merupakan rangkaian awal dari penelitian favorit saya, satwa liar. Saya tidak bisa menghitung lagi jumlah keberuntungan saya, tapi ini benar-benar di luar ekspektasi saya. Saya pernah mencatat salah satu mimpi saya di jurnal harian saya bahwa saya ingin jadi Conservation Psychologist - saya tetap tulis walau itu hanya mimpi. Sekarang, saya selangkah lebih dekat.

Tapi poin tulisan kali ini bukan itu. Saat sekitar hari keempat di lapangan, salah satu mentor kami dari Komodo Survival Program mengatakan, "satu-satunya yang membuat saya kecewa dari pendidikan di Australia adalah segalanya di sana begitu ideal, hingga solusi yang ditawarkan tidak aplikatif di sini sama sekali. Saya sudah sampaikan ke pembimbing saya bahwa ini tidak mungkin dilaksanakan di sini, tapi ia mengatakan sudah tulis saja. Pada akhirnya, yang saya lakukan di sini semuanya mencoba-coba lagi." Saya terdiam saat rekan setim yang diberi wejangan memberikan respon. Saya pernah berpikir hal yang persis sama.

Tidak banyak yang tahu bahwa pada pertengahan 2015 saya hampir berangkat ke Belanda. Hasil tes saya untuk membuat proposal penelitian dari sebuah jurnal dalam waktu kurang dari dua minggu dipuji oleh tim penilai. Saya sudah diemail untuk mengurus akun bank agar dapat dikirimi beasiswa oleh pihak kampus, dan juga saya memenangkan lotere sepeda kampus (ini yang saya sesalkan sebetulnya hehe). Tapi saat itu ada saja halangannya. Saya tiba-tiba ragu, salah satunya adalah karena proyek kontrasepsi yang saya jalankan bersama salah satu pelaksana program komunikasi Johns Hopkins University. Semua teori asing yang nampaknya saya ketahui tidak aplikatif, rasanya idealitas saya sebagai akademisi runtuh sekejap. Pada akhirnya kami terus mencoba-coba mana yang benar dan mana yang salah. Proyek itu terus berlangsung hingga April ini, dan saya merasa ada ikatan batin sehingga tidak mudah buat saya untuk berangkat ke Belanda begitu saja. Tuhan juga berkata lain. Saya mendapat beasiswa program khusus dari Obama ke Amerika Serikat.

Makin mudah? Tidak juga. Semua kondisi di Amerika terlampau ideal, apalagi Missoula, kota saya bernaung selama 3 minggu. Permasalahan satwa liar khususnya pemeliharaan satwa dilindungi tidak pernah terjadi di sini. Mereka terbengong-bengong saat saya menceritakan bahwa elang dipelihara di Indonesia. Mereka punya solusinya? Tidak. Saya kemudian pergi ke New Orleans yang kondisinya lebih mirip dengan Indonesia, tapi kembali ditampar realita di Washington DC - negara ini jauh berbeda dengan tanah air. Saya tidak tahu bisa pulang membawa apa. Kita saat ini jika saya membandingkan kasus konflik pemerintah versus suku lokal, adalah Amerika 30 tahun yang lalu saat palu diketuk memenangkan suku asli Amerika melawan pemerintah. Sebuah pekerjaan rumah berat yang harus dikejar di dunia serba cepat ini.

The Angry Farmer
Beasiswa singkat itu membawa saya mengenal teman yang mau mengenalkan saya ke petani kopi di Jawa Timur. Saya kembali dengar dua hal identik dari petani kopi di dua daerah terpisah. Satu petani kecewa karena pemerintah pernah membuatkan teknologi mesin pemroses kopi tapi tidak efektif. Saat kopi digiling, banyak biji kopi terpental dan menyebabkan kerugian dalam jumlah besar. Ia meminta perbaikan teknologi itu, tak pernah digubris. Ada pula mahasiswa yang begitu sok tahunya mengajarkan ia apa saja tumpangsari yang harus ditanam di ladang kopi, tapi melihat tanamannya saja belum pernah. Petani yang lain mengeluhkan masalah eksperimen yang dilakukan peneliti, biasanya dilakukan dalam jumlah kecil hingga sepertinya sempurna. Tapi saat diaplikasikan dalam jumlah besar, biasanya tidak berhasil.

Saya ingat cerita lain dari pulau Kalimantan, saat seorang teman baik memiliki proyek panel surya di sana. Warga suku Dayak sudah mengerti cara pemasangan panel surya, tapi mahasiswa yang baru datang berpikir mereka tidak akan bisa memasangnya. Pada akhirnya yang terjadi, mahasiswa tidak dapat memasang dan akhirnya warga suku asli yang memasangnya.

Banyak sekali cerita lain serupa bagaimana orang yang sebenarnya menjadi komunitas yang terdampak di hilir, mengeluhkan apa yang dikerjakan para peneliti dan pemerintah di hulu. Saya pikir ini hanya terjadi di tanah air tercinta ini. Nyatanya tidak. Seminggu lalu partner saya memaksa saya membaca buku Masanobu Fukuoka berjudul "The One Straw Revolution". Masanobu adalah seorang pekerja dan peneliti agrikultur yang akhirnya memilih kembali ke kampung halaman untuk bertani dengan cara sealamiah mungkin. Tanpa pupuk kimia, tanpa pestisida, tanpa pengolahan tanah, ataupun modifikasi tanaman. Buku ini, menurut saya adalah luapan amarahnya. Ia marah terhadap banyak, banyak sekali peneliti yang ia tulis jelas siapa namanya, dan juga pemerintah.

Jangan baca jika Anda peneliti yang tak tahan kritik
Pada halaman 75 ia menceritakan tentang seorang profesor yang menulis buku tebal soal hubungan metabolisme tanaman dan panen beras. Ia bertanya pada profesor dari Universitas Ehime ini, apa setelah itu ia akan kembali dan mencoba teorinya sendiri. Profesor itu tertawa dan berkata, "No, I'll leave the application to you. I'm going stick to the research." Dan ini yang kemudian Masanobu tulis: "So that it how it is. You study the function of the plant's metabolism and its ability to absorb nutrients from the soil, write a book, get a doctorate in agricultural science. But do not ask if your theory of assimilation is going to be relevant to the yield."

Entah kenapa, meski saya tak tahu benar siapa Masanobu ini, saya ikut marah. Saya ingat betul di semester 7, pada saat saya sudah menyelesaikan skripsi saya kemudian berdebat dengan teman di kantin tempat mahasiswa biasa berdiskusi. Kami mendebatkan apa esensi ilmu pengetahuan. Saya percaya di masa ini harusnya output ilmu pengetahuan adalah aplikasi. Jika tidak bisa diaplikasikan, maka itu bukan ilmu pengetahuan. Kita bukan pada era ilmu pengetahuan murni, namun teman saya berpendapat sebaliknya. Ilmu pengetahuan berhak dilanjutkan atas dasar keagungan ilmu itu sendiri. Maksudnya, penelitian tidak harus selalu bersifat aplikatif. Saya agak marah saat itu. Tepatnya, sejak saat itu saya menganggap orang ini adalah rival akademisi saya di fakultas ini. Rival ideologi, bahwasanya ia tidak peduli ada banyak orang non akademisi sana menantikan hasil jurnal-jurnal yang hanya menumpuk di perpustakaan. Itu alasannya saya bekerja. Saya mau mengaplikasikan seluruh ilmu yang saya dapat, dan melihat hasilnya di dunia nyata. Tidak berhasil juga tak apa, kita jadi tahu, bahwasanya teori asing mungkin terlalu berbeda dengan profil kita.

Apa yang saya lewatkan? Saya malah dibangunkan oleh Bapak Bangsa, Bung Hatta, yang sudah mendahului puluhan tahun silam. Di buku naskah pidato-pidatonya, ia mengkritik kondisi negara yang terapit antara memihak Rusia dan Amerika Serikat pada saat itu. Ia marah, karena perpecahan mulai terjadi di mana-mana, bertengkar apa kita mau ikut jadi liberalis atau mau jadi komunis di usia negara yang masih sangat muda. Ia menyampaikan bahwa Indonesia ini bangsa yang besar, sudah selayaknya kita membentuk identitas bangsa ketimbang mempersoalkan perang dingin di luar sana. Identitas bangsa sebagai bangsa Indonesia, yang memahami apa yang ada di luar sana dan pikiran bangsa asing - mempelajari pola pikir mereka dan etos kerja yang baik, tapi tetap menjadi diri sendiri. Tidak mencemooh bangsa sendiri. Bersatu, dan mencoba memahami bangsa sendiri. Maaf, saya jadi emosional. Cobalah baca bukunya, Anda akan ikut merasa sedikit emosional.

Kita saat ini krisis identitas. Mau jadi apa kalau apa yang dikatakan bangsa asing selalu dirasa benar? Mau jadi apa kalau kita punya bias bahwa Indonesia tidak ada apa-apanya, padahal kaki baru sejengkal keluar dari rumah? Mau jadi apa kalau sebegitu produktifnya kita menulis, publikasi paper, meneliti, kalau kita hanya peduli soal menempatkan nama dalam konferensi internasional? Krisis identitas ini berujung pada pemisahan yang cukup jelas antara menjadi peneliti profesional dan mau menerapkan sendiri hasil teorinya.

Masanobu Fukuoka. Sumber: www.onestrawrevolution.net
Kembali mengutip Masanobu, sebelum seseorang menjadi peneliti ia sudah seharusnya menjadi filsuf. Akar ilmu pengetahuan adalah filsafat, maka itu kita harus pikir dulu apa manfaat dan esensi dari apa yang kita teliti dan lakukan dengan ilmu pengetahuan. Saya sedang membaca buku Jane Goodall yang juga sempat menulis, banyak orang mengkaji sampai mengatakan sudah tidak ada waktu lagi menyelamatkan spesies ini. Ini relevan, kita menghadapi dunia cepat yang tak mau menunggu kita hanya ongkang-ongkang kaki jadi peneliti bergengsi. Dalam buku itu ia mengumpulkan rangkaian kisah penjaga kebun binatang dan ilmuwan yang berhasil mengembalikan beberapa spesies dari kepunahan dan keluar dari ruangan yang nyaman.

Krisis identitas ini membuat bangsa ini entah mau kemana. Harapan saya adalah berkembangnya teori khas Indonesia yang pada akhirnya adalah membawa manfaat aplikatif pada semua kalangan masyarakat: tidak hanya petani, nelayan, tapi juga pebisnis, agensi, guru, sistem politik, dan lainnya. Kita bisa saja kembali ke zaman feodal dimana kita begitu inferior dengan kemampuan kita sendiri, sehingga tidak ada pergerakan untuk merdeka. Kadang saat saya membaca status di linimasa yang dimulai "Dasar orang Indonesia...", saya ingin tanya kembali, sudah kenal berapa juta orang di Indonesia sih jadi bisa bicara begitu merendahkan? Giliran bule yang bicara, semuanya jadi benar (dan saya tulis ini karena saya punya banyak teman bule, native, yang menurut saya beberapa kali melakukan kesalahan pikir).

Tari Condong oleh Anggota Sanggar Tari saya.  ©Azizah
Kembali soal identitas dan penelitian. Masanobu menulis juga bagaimana pertanian yang kini sudah jadi komoditas bisnis, memaksa petani menanam dan terus menanam menyebabkan petani kini tak punya waktu untuk berpuisi, aktivitas yang dilakoni petani Jepang pada masa lampau. Sekali lagi, saya merasa Masanobu ini tiba-tiba adalah "Mbah" saya. Saya berpikir yang sama, contohnya adalah Bali. Pada masa lampau saya membaca, bahwa setiap orang di Bali adalah seniman. Pagi berladang dan sore memukul gamelan, menari, memahat, atau melukis. Tidak membedakan, setiap orang menemukan seninya masing-masing. Saya tidak tahu apakah itu masih berlaku di Bali, tapi seni adalah identitas bangsa yang merupakan warisan nasional, seharusnya tidak diganti dengan identitas bangsa lain, namun bukan berarti tidak bisa berkontribusi. Contohnya, pengaransemen tari Kecak bukanlah orang Bali, juga bukan orang Indonesia. Tapi tidak apa, masih ada tarian klasik lain yang menjadi identitas diri kita. Bahwasanya seni adalah aktualisasi diri tertinggi dan membedakan kita dari spesies lain, sebelum menghina bangsa ini: apa seni asli Indonesia yang Anda kuasai?

***

Tulisan ini saya rasa sudah cukup pedas. Ini juga kritik untuk diri saya sendiri dan mempertanyakan apa perubahan signifikan yang sudah saya buat. Tapi saya suka pedas. Kadang, pedas bisa membuat kita senang setelahnya, asal kita bisa menerima pedas itu sendiri sebagai sebuah evaluasi atas daya tahan kita.

Dan saya yakin, peneliti yang hebat adalah mereka yang tahan kritik, (dan mengutip dosen pembimbing saya), saat mereka dikritik... mereka akan kembali dengan senyuman.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!