Flores.

Wednesday, August 17, 2016


Ada makna yang mendalam di balik sebuah nama. Sebuah teori bernama NLE (Name Letter Effect) mengatakan kalau kaitan kita dengan (inisial) nama kita melampaui sekedar panggilan, namun juga bagian dari kepercayaan diri implisit. Maka saat saya mendengar nama Flores, saya merasa terpanggil. Makna nama saya dan nama pulau ini adalah sama: bunga.

Saya kembali ke Flores untuk kedua kalinya awal bulan Agustus lalu untuk melakukan sebuah studi sosial yang mungkin tidak akan saya ceritakan detilnya di sini. Ada perubahan musim yang signifikan karena seharusnya sudah masuk musim kering, namun saat saya datang, hujan masih menggantung beberapa kali di langit Flores utara. Ada banyak hal dalam kepala saya yang saya bawa saat saya mendarat di Labuan Bajo, maka kemudian saya memutuskan menonaktifkan internet saya selama di sana - meski kadang ada tempat yang masih bisa terjangkau internet.

Tapi tidak. Kali ini saya datang untuk menemukan diri saya.


Setengah awal tahun ini cukup berat untuk saya pribadi.
Ada masalah di pekerjaan utama dan formulasi konsep tesis yang tak berujung. Kemudian juga masalah lain yang sudah saya tulis di tulisan sebelumnya. Beberapa kali saya menyerah dan beberapa kali juga memilih bertahan. Ada orang-orang yang percaya kalau saya masih bisa menangani masalah-masalah itu. Dan di Flores, sebenarnya saya mencari jawaban apa yang salah. Dan mungkin ada beberapa kesimpulan yang saya bisa ambil.

1. Artifisial
Yang saya lakukan sebenarnya artifisial dibanding masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Saya sudah lama tidak bekerja untuk proyek lembaga non-profit, dan saya merasa kehilangan. Saya kehilangan esensial bekerja dengan hasil yang menyenangkan hati; memiliki dampak sosial dan membahagiakan diri sendiri. Di Flores saya merasakan kebahagiaan tanpa batas saat melihat anak-anak membaca buku yang mungkin di Jakarta tampak biasa saja (saya kalau di kota besar, benci sekali sama anak-anak).

2. Lambat
Saya banyak menghabiskan waktu saya dalam perjalanan selama di kota besar. Memang, banyak waktu terambil ketika di Flores untuk menuju titik selanjutnya, namun bukan karena macet - melainkan memang benar-benar jauh. Macetnya Jakarta itu neraka karena bukan hanya kondisinya, tapi orang di sekeliling juga membuat ingin menyumpah-serapahi satu persatu. Ini menambah stress kerja dan tugas sehari-hari. Pulang, bukannya istirahat, malah terjebak macet.

3. Menunduk
Saya sering sekali merasa sedih ketika waktu untuk berbincang terganti dengan menunduk ke layar kaca. Ignorance. Sebuah studi membuktikan rasa sakit dari "dicuekin" (cold shoulder) lebih sakit dari sakit fisik. Tidak ada orang yang mau mengangkat kepala dan berbincang sebentar di angkutan umum, atau fasilitas publik. Di tengah macet Jakarta saat dalam taksi menuju kantor klien sendirian kemarin, saya diingatkan supir taksi untuk berbincang. Ia bercerita mengenai pengalamannya bekerja di sebuah operator taksi selama 24 tahun dan cerita-cerita lucu mengenai keluhan pelanggan. Saya tertawa, sedih. Saya mendapat begitu banyak momen seperti ini di Flores tapi tidak di Jakarta. Saya merasa diperhatikan, didengar. Dan saya juga merasa ada orang yang butuh saya dengarkan. Hubungan timbal balik itu saya rasa adalah yang paling saya rindukan. Sepasang mata yang hanya melihat pada saya dan mengatakan "kita sedang berbincang berdua saja".

4. Makna
Saya kehilangan banyak makna sejak awal tahun. Peak pekerjaan membuat saya kehilangan makna awal saat saya membangun apa yang saya inginkan. Makna ini saya dapatkan kembali di Flores, saat berbincang dengan beberapa tetua dan Tua Teno, mengenai sejarah daerah dan makna-makna banyak hal yang masih dilakukan hingga sekarang. Sepertinya benar, selain menari, tidak ada lagi hal yang saya lakukan untuk menemukan makna fundamental bagi diri saya sendiri.


Adalah durhaka kalau saya menyalahkan kota besar untuk semua ini. Saya, yang sebetulnya salah. Kenapa saya memilih pilihan yang membuat tidak bahagia. Filsuf bilang semua manusia itu pada dasarnya hedonistik. Seharusnya kita memilih pilihan yang membuat kita bahagia. Bukan melulu berarti materialistik, karena makna bahagia itu sendiri pun, para psikolog masih terus mencari makna yang paling bulat dan absah.

Tapi yang pasti 14 hari saya (dengan perjalanan) menuju Flores utara adalah hari-hari terbahagia saya sejauh ini. Saya kembali menemukan makna, dan menjalani hidup yang "kok sudah malam lagi?" bersama tambahan dua orang yang saya pilih untuk berada di sini juga.

Sejujurnya sih, masalah-masalah yang saya bawa ke Flores juga tidak serta merta selesai sekembalinya saya (kecuali konsep tesis yang sudah matang), tapi akan saya selesaikan akhir tahun ini. Setidaknya, kini saya punya tambahan orang-orang terdekat yang tahu batas kemampuan saya dan bisa jadi buffer kalau saya jatuh.

You Might Also Like

2 comments

  1. pus, video yg kita bikin sampe bermalam malam itu sudah sampe ke tangan bupati loh... mudah mudahan bisa bermanfaat...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaaaa dibaca Kang Achmad maluuuuu :"""")
      Alhamdulillah... Kangen juga ngedit video yang patah-patah tengah malem tapi masyarakat antusias nontonnya :"D

      Delete

Let's give me a feedback!