Akhir Perjalanan

Saturday, October 22, 2016



Dalam beberapa post terakhir saya di blog, saya mengutarakan keresahan saya untuk mencari apa yang saya tidak tahu sedang saya cari. Kesimpulan sebelumnya, saya memikirkan bahwa saya mungkin mencari kebebasan. Kebebasan moralitas untuk melakukan hal yang benar dan sebenar-benarnya. Dan akhirnya, kini, saya sudah tahu apa yang saya cari berkat perjalanan ke Tenganan, salah satu desa adat tertua di Bali.

***


Bapak saya sering cerita ada dua jenis masyarakat di Bali, yakni Bali Aga dan Bali Arya. Komunitas Bali Aga adalah masyarakat adat yang tidak terpapar pengaruh Majapahit. Meski Bali Arya pun berbeda dengan masyarakat Hindu di Pulau Jawa, maka Bali Aga lebih berbeda lagi kebiasaan dan adatnya. Dan seperti biasanya, saya mendengar sambil mengangguk-angguk saja kalau ayah saya lagi cerita; tanpa tahu kalau Semesta itu mengisyaratkan bahwa saya mungkin akan pergi menemui komunitas yang ayah saya ceritakan.


Sama seperti halnya ketika saya bisa pergi ke desa tempat tinggal Suku Badui dalam setelah bapak saya cerita tentang mereka, Semesta mengirim saya ke Tenganan melalui sebuah forum budaya. Lagi-lagi, saya merasa semesta luar biasa karena saya ditempatkan di rumah seorang penenun kain adat asli Tenganan atau kain Gringsing, dan anaknya seorang lulusan Seni Tari dari ISI, Denpasar. Tidak hanya mengunjungi, saya bersyukur mendapat kesempatan luar biasa untuk menginap bersama masyarakat adat di Tenganan. Luar biasa bersyukur, karena berarti saya bisa merasakan langsung kehidupan sehari-hari warga adat di sini. Ini kali ketiga saya bisa hidup bersama masyarakat adat asli Indonesia, dan saya pikir mungkin Semesta akan mengirimkan sinyal-sinyal seperti yang sudah lama ia tidak kirimkan pada saya.


Acara dimulai dengan pengenalan dari Kepala Desa mengenai adat-adat di Desa Tenganan. Sama seperti banyak suku lain di Indonesia, Tenganan menaruh makna khusus pada beberapa tahapan hidup manusia yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian. Saat saya di rumah Ibu tuan rumah saya, saya dipinjamkan sebuah makalah hasil penelitian mengenai pernikahan endogami di Desa Tenganan dan dua buku lain tentang Tenganan karya Antropolog Urs Ramseyer. Hukum paling dasar di Tenganan mengenai kepemilikan adalah, tidak ada kepemilikan rumah dan tanah. Seluruh tanah dimiliki desa dan rumah dikelola oleh desa. Setiap orang yang baru menikah di Tenganan akan diberikan tanah untuk tinggal (bisa juga sudah ada rumahnya) dan diberi waktu maksimal 3 bulan untuk membangun rumah dan pindah dari rumah orang tua. Jika ada yang meninggal dan sebuah rumah kosong, maka dikembalikan ke desa adat. Pembagian proporsi tanah sudah ajeg, untuk pemukiman, bangunan ibadah atau adat, areal persawahan, pemakaman, dan ruang terbuka. Persawahan Tenganan kini juga digarap oleh masyarakat dari luar desa, dengan pembagian 50:50. Pernikahan endogami, diduga oleh peneliti untuk menjaga pembagian tanah adat agar tidak berubah (dan tanah di Tenganan tidak boleh disewakan atau dijual). 

Rendaman untuk Tuak
Hidup begitu tenang di Tenganan, bahkan saat saya mengobrol dengan seorang aktivis dari Denpasar saja ia bilang, “Tenganan itu surga”. Kami juga diajak melihat ke tempat pembuatan tuak tradisional dengan hanya air dan rendaman kulit sebuah pohon (yang saya lupa namanya, nanti saya tanya lagi kalau ke sana). Rasanya mirip tape tapi lebih manis. Saat acara sudah selesai, saya mampir bersama kawan baik saya yang sekarang menetap di Ubud secara tidak sengaja ke sentra madu di desa. Saat itu saya sedang jadi guide dia dari salah satu pura ke desa, dan berhenti melihat sarang lebah buatan dan seseorang memanggil dari dalam pagar tanaman: “mau lihat lebahnya?” Kami pun diajak melihat lebah yang diternakkan dan disuguhi teh dengan dua jenis madu yang dihasilkan lebah di sana. Pulangnya, Ibu tuan rumah kami menunjukkan kembali proses tenun yang ia sedang kerjakan, yakni meniru motif dari kristik lalu melapisi benang untuk diwarnai sesuai dengan pola itu. Saya sangat sulit menjelaskan kalau tidak menunjukkan, jadi pokoknya kain Gringsing produksi desa Tenganan adalah kain adat yang memakan waktu tahunan untuk proses produksinya, mulai dari pembuatan benang, pewarnaan dan penenunan; makanya harganya bisa jutaan rupiah. Umumnya tiap keluarga juga masih menyimpan kain Gringsing yang sudah diwariskan turun temurun selama ratusan tahun.


Desa Tenganan punya hukum yang keras mengenai lansekap lingkungan. Penebangan pohon juga dilarang kecuali untuk penjarangan (sehingga pohon tidak berebut nutrisi), pohon mati, atau untuk membangun rumah. Seringkali saya skeptis dengan kunjungan singkat, tapi sudah saya konfirmasi dengan buku dan makalah penelitian hasil pengamatan bertahun-tahun para Antropolog. Dalam buku juga dijelaskan kasta yang ada di desa bukan terberi tapi diraih. Ada rangkaian adat yang harus dilalui untuk mendapatkannya. Semua aturan sudah ada dalam awig-awig atau aturan adat di Desa Tenganan Pegringsingan. Pengalaman lain yang saya syukuri adalah saya diajari mengukir daun lontar, juga plus diajari teknik pewarnaan berbeda untuk ukiran dan background memakai kemiri yang dibakar. Yang terakhir, saya pulang diberikan sapu lidi oleh Ibu saya di sana. Bertahun-tahun sejak saya kos di Depok, saya ingin punya sapu lidi tapi terlalu sibuk sehingga tidak sempat mencari.


Pulang dari Tenganan, saya singgah sebentar di Taman Baca Kesiman Denpasar (jangan lupa main ya), lalu mendengar kabar Bandara Ngurah Rai mengalami masalah selama dua jam sehingga semua penerbangan di delay. Tak masalah, saya gunakan waktu saya untuk merenung sendirian menunggu pesawat terakhir dari Bali hari itu, yang terisi hanya sekitar belasan bangku saja. Saya ingat halaman terakhir buku Wallace, “The Malay Archipelago” (1869, p. 454 - 455):

“…We most of us believe that we, the higher races, have progressed and are progressing… Now, although we have progressed vastly beyond the savage state in intellectual achievements, we have not advanced equally in morals… Our mastery over the forces of nature has led to a rapid growth of population, and a vast accumulation of wealth, but these have brought with them such and amount of poverty and crime, and have fostered the growth of so much sordid feeling and so many fierce passions… Compared with our wondrous progress in physical science and its practical applications, our system of government, of administering justice, of national education, and our whole social and moral organization remain in a state of barbarism.” 

Buku Wallace itu adalah titik balik saya untuk tertarik secara serius ke arah konservasi. Orang pertama yang membuat saya jatuh cinta pada dunia ini mungkin sudah lama wafat, tapi tulisannya masih relevan hingga saat ini. Hal pertama yang ia ajarkan adalah jangan melihat alam hanya dari kekayaan flora dan faunanya saja, tapi juga manusianya (jarang sekali saya temui Biologist yang punya pemahaman serupa), hal yang kedua adalah meski ia sangat terbantu kependudukan Inggris di tanah Melayu untuk studinya, ia tak segan menulis kritik yang luar biasa memukul di akhir catatannya. Saat ini juga kita mengemis prinsip-prinsip Sosialisme yang mensejahterakan masyarakat. Kita melihat perang, krisis, pemanasan global. Kita melihat perebutan tanah yang tidak henti-hentinya. Kita melihat egoisme manusia yang tidak akan pernah cukup dipuaskan oleh satu planet Bumi. Keputusasaan yang sama yang tersirat di film Inferno yang baru rilis. 

Kawan Baik dan Ibu Saya di Tenganan
Desa Tenganan mencerminkan kondisi ideal. Coba Google “Tenganan Pegringsingan”; di overview Google search dari Wikipedia, Anda akan menemukan “…secluded” untuk menggambarkan Tenganan. Kata ini saya pandang negatif, “tertutup”. Sering pula masyarakat adat dianggap terbelakang, dan meminjam istilah Wallace: “barbar”, “savage”. Tapi Wallace menampik, ia justru memandang kita, yang mengklaim menemukan ini itu dan sudah maju dalam segala hal justru yang barbar. Kita kalah dalam perlindungan lingkungan, pencurian dan pembunuhan dimana-mana. Kita berfilsafat, berkontemplasi, berdiskusi – yah walaupun bangsa para filsuf kini pun akhirnya bangkrut. Kini kita mencoba hidup dengan alam: dan masyarakat adat, sudah sejak dahulu kala melakukannya.


Saya pikir ini yang saya cari. Saya mencari orang-orang yang memaknai hidup mereka sebenar-benarnya. Melakukan kebaikan yang benar-benar untuk berbuat baik. Belum ada satupun orang selain di Tenganan yang menanyakan kenapa saya bingung, dan mengantar saya sejauh 4 kilometer untuk menemukan yang saya cari dengan segera meski tidak begitu mengenal saya. Saya pikir, ini akhir perjalanan pencarian saya. Saya sudah siap untuk sejenak (atau lama) akan pergi dari Jakarta setelah Natal nanti, menemukan kebaikan-kebaikan lainnya yang bukan dijual untuk sekedar mempromosikan barang dagangan saja seperti di ibukota. Ini adalah catatan terakhir saya di tahun ini di laman pribadi saya, dan seperti kata Wallace di bukunya:

“I now bid my readers – Farewell!”

Disclaimer: Ternyata saya masih akan menulis untuk tahun ini selanjutnya, untuk mengenang sosok mas Sarlito yang meninggal November lalu.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!