Jendela

Wednesday, May 03, 2017


Belakangan saya punya banyak waktu untuk sendirian di hari biasa dan bersama orang lain di akhir minggu. Ini terbalik dari periode-periode sebelumnya, di mana saya biasanya bekerja di hari biasa dan akhir minggu menyisihkan waktu untuk diri sendiri. Tanpa diduga rasanya menyenangkan. Hidup tanpa Jakarta setelah resign ibarat makan nasi tanpa sambal. Tapi untungnya saya cuma suka pedas kalau sedang PMS, jadi cukuplah sesekali saja ke Jakarta untuk latihan menari.

Belakangan ini pula saya punya banyak waktu untuk membaca banyak teori aliran "baru" atau kontemporer di bidang psikologi. Beberapa teori sangat menarik, dan entah kenapa saya punya kecenderungan untuk tertarik dengan teori-teori yang lahir di ruang pengadilan. Teori-teori yang lahir dari observasi nyata ini terasa lebih dekat dengan realitas dan dapat diimplementasikan secara nyata, serta menjawab rasa haus saya akan keadilan. Sebagai anak bungsu dari dua anak berjenis kelamin sama, saya kerap mempertanyakan hak-hak saya dan tanggung jawab saya. Mengapa kerap kali saya tidak mendapatkan hak meski tanggung jawab saya sudah selesai? Mengapa saya kerap tidak merasa jalan diperuntukkan untuk pedestrian meski mungkin saya membayar pajak lebih tinggi daripada pengendara yang tidak mau mempersilakan saya menyebrang jalan? Serta ribuan mengapa lainnya.

Namun mungkin salah satu yang saya rindukan di Jakarta barangkali adalah sebuah jendela besar untuk mengamati orang lain dan melakukan pembelajaran secara berkelompok sebagai tim. Di kantor korporat Jakarta (setidaknya yang pernah terjadi di mantan kantor saya), feedback diberikan mengalir dan tepat, no hard feeling, diskusi juga tumpah di meja makan atau sembari senggang. Pekerjaan saya sekarang tidak mengharuskan saya berkomunikasi intens setiap hari atau pergi bolak-balik ke kantor. Kami memiliki tanggung jawab besar masing-masing dan proporsi dalam visi organisasi yang harus dikerjakan sendiri. Saya sangat menyenangi pekerjaan ini, dan syukurnya, saya punya mentor (sekaligus supervisor) yang bisa diandalkan dan juga jadi lawan sparing saya dalam berdebat akademik. Namun jendela itu menjadi kecil.

Saat saya ada di kampus, jendela itu membesar lagi. Ada puluhan teman studi yang bisa saya amati perilakunya. Kemarin saya mendapati sebuah kelompok yang berusaha dengan baik menyusun materi kelompok, membaca dengan detil dan mencari bahan tambahan di luar yang diharuskan. Ini fenomena langka. Umumnya, mahasiswa menyusun materi presentasi hanya dari sumber tunggal dan ketika ditanya, mereka tidak bisa menjawab, jawaban mereka umumnya "yang saya baca dari buku ini begitu" atau "yang saya pahami dari buku ini begitu". Padahal saya juga tidak perlu tahu yang dia baca apa dan apakah ada jawabannya di sana atau tidak. Yang saya perlu tahu adalah jawaban atas rasa penasaran saya dari mendengar penjelasannya. Rasanya, manusia itu istimewa karena mereka bisa meng-infer pengetahuan dari berbagai sumber kemudian diambil insight-nya sehingga menjadi grand knowledge. Menurut ahli taksonomi pendidikan, pengetahuan inilah yang di masa mendatang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan individu.

Namun apa daya, ketika diberi feedback tidak ada perbaikan. Orang yang sama melakukan lagi: menyusun presentasi dari satu sumber saja dan tidak mampu menjawab pertanyaan koleganya.

Kembali ke pertanyaan mengenai keadilan: saya sudah memenuhi tanggung jawab saya untuk memperhatikan secara penuh presentasi Anda, maka bolehkah saya mendapat hak untuk mendapat jawaban atas pertanyaan saya?

Kelompok kemarin mampu menjawab pertanyaan saya dengan baik, dan saya rasa pantas mendapatkan apresiasi dan tepuk tangan yang riuh rendah.

Jendela itu, entah tertutup atau bagaimana pada banyak orang. Untuk memperhatikan bukan hanya hak diri sendiri tapi juga hak orang lain; untuk bisa memenuhi tanggung jawabnya sendiri agar tidak menyulitkan orang lain. Untuk berterima kasih atas apa yang orang lain berikan untuknya, bukan dengan kata-kata, namun dengan perbuatan.

Dan barangkali itu yang terpenting jika merujuk pada sebuah tulisan Quraish Shihab: untuk bisa berbuat yang sejalan dengan kata-kata.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!