Bicara

Thursday, June 22, 2017


Beberapa waktu lalu saya kembali ke Bali dan banyak sekali bersyukur pada semesta. Meski pekerjaan saya menumpuk di kantor, saya bahagia. Setiap malam saya pulang dengan merasa puas akan produktivitas hari itu, dan meski tidak bisa bersepeda kali ini karena cuaca tak menentu, ditemani abang Gojek kemana-mana, saya bersyukur bisa menghabiskan dua malam terakhir dengan dua wanita signifikan dalam hidup saya.

Yang pertama adalah sahabat semasa SMA saya, Bella namanya. Kami pernah ribut besar setelah kehilangan alat olahraga kami, namun kemudian kami juga pernah menjadi duet bek dan kiper klub futsal wanita sekolah kami. Kami berjanji bertemu di Pesta Kesenian Bali dan beruntung, kami bisa bersua di tengah keramaian penonton di Art Center Denpasar. Sekarang di jok mobilnya sudah terpasang jas dokter dan stetoskop tergeletak di bangku belakang, setelah menyandang gelar dokter dan praktek di Bali, ia juga jatuh cinta dengan Bali. Meski tak semua orang menyenangkan di Bali, menurutnya Bali jauh lebih baik dari ibukota. Ia masih jadi orang yang bisa saya ajak ke museum, dan bicara serius soal hidup. 

Bella

Yang kedua, Raisa, adalah kebalikannya. Seniman yang bermukim di Dalung, area Kuta, bekerja awalnya serabutan di Bali kemudian menjadi staf dekor Wedding Organizer yang cukup punya reputasi internasional. Ia bercerita soal bosnya yang begitu dekat dengan keluarga kecilnya, dan juga bagaimana update hidupnya semenjak saya pulang dari Bali Januari lalu. Ia masih jadi orang yang gampang takjub dengan lumut-lumut basah sehabis hujan saat kami berkunjung ke desa adat Panglipuran di Bangli.

Bersyukur sekali dalam waktu singkat dan kepadatan aktivitas, kedua teman dekat saya ini masih mau menghabiskan waktu bersama saya dan bercerita intim seperti dahulu kala. Sekembalinya saya ke Pulau Jawa, bertubi-tubi berita megapolitan tak kunjung hentinya datang. Paling anyar saya terhenyak dengan video pemain bulutangkis asal Denmark yang marah atas komentar-komentar netizen Indonesia:


Sementara beberapa hari lalunya saya di Bali, menyaksikan perhelatan akbar Pesta Kesenian Bali ke 39, menyaksikan Sekaa-sekaa (organisasi/perkumpulan) menabuh gong, menyanyikan kidung atau menari indah untuk menyampaikan pesan. Tarian yang saya tonton adalah Janger kreasi dari Negara, mengisahkan pesan untuk menjaga lingkungan terutama air dan hutan. Untuk menyampaikan pesan itu saja, mereka harus menyuguhkannya dengan tarian megah selama 18 menit. Saya yakin, karena kuatnya pesan akan tergantung pada cara penyampaiannya. Ditambah saat saya menonton, bulan purnama bulat menerangi penjuru kota Denpasar, langit cerah, seolah semesta mengamini.

PKB 2017 ke 39

Tapi megapolitan sungguh memiliki wajah berbeda. Beberapa waktu lalu saya membaca artikel bagaimana sebenarnya sejarah kopi. Simpang siur. Hal yang diketahui pasti adalah kopi berasal dari Etiopia, menyebar ke semenanjung Arab, lalu ke Eropa. Namun kisah pertamanya (yang masih diperdebatkan), mungkin menggelitik hati. Adalah seorang penggembala kambing bernama Kaldi, yang menyadari bahwa kambingnya menjadi sangat energetik hingga tidak mau tidur saat malam tiba, setelah memakan sejenis buah, menyadari bahwa bijinya yang memiliki efek tersebut. Ia melaporkan hal ini kepada kepala pendeta sekitar, dan sejak itu berita dan kultivasi buah penggembira itu menyebar. Kopi kemudian ditanam di Yaman di Abad 15, menyebar ke Persia, Mesir, Syria, dan Turki pada Abad 16. "Qahveh khaneh" - atau kini disebut warung kopi menyebar di semenanjung Arab, dan tempat-tempat ngopi itu juga menjadi tempat pertukaran informasi penting dan disebut dengan "School of the Wise". Kopi kemudian disebut sebagai "wine of Araby", menyebar juga melalui umat Islam yang menjalani ibadah Haji ke Mekkah. Kopi baru tiba di Eropa di Abad ke-17.  

Asal mula saya membaca artikel tersebut adalah penasaran dari akar kata "Arabica/Arabika" yang merujuk pada jenis kopi yang cenderung asam, hanya bisa tumbuh di pegunungan, dan rentan terhadap hama. Sekental itu kopi dengan budaya Arab, saya jadi sungguh penasaran. Belakangan seorang teman memutuskan menjadi ateis dan aktif menghujat kaum beragama. Tidak ada yang salah, dalam hemat saya, dalam memilih menjadi ateis. Yang kurang saya sepakat dalam keputusan apapun adalah menjadi fanatik dengan apapun yang kita yakini. Masalahnya di era di mana masyarakat telah menjadi masyarakat dunia saat ini, kita tidak hidup sendiri terkungkung dalam satu aturan budaya dan agama. Pergerakan manusia yang cepat dan masif menuntut akulturasi dan asimilasi yang lebih cepat, termasuk jika kita bicara soal persebaran virus.

Raisa

Jadi begini. Saya pernah diskusi dengan partner saya bahwa tidak ada makanan universal yang disukai seluruh umat manusia di bumi ini. Tapi lalu saya temui di mana-mana restoran Chinese Food menyertakan logo halal besar dan wanita-wanita berkerudung di tengah hari bulan Ramadhan duduk makan dengan tenang. Apakah mereka adalah bagian dari orang-orang yang menghujat orang Cina Kristen di Facebooknya? Entah. Saya tidak berhak menghakimi. Nah sekarang dibalik. Akankah teman saya yang ateis dan menghujat Arab setengah mati bisa kemudian membenci kopi, mengingat kopi berakar dari budaya Arab? Saya jamin, tidak.

Jadi buat apa sih ya, fanatisme?
Fanatik Arab, nanti gak bisa makan Chinese Food atau makan fast food Amerika lagi lho. Padahal Arab, Cina, dan Amerika adalah kongsi dagang yang sungguh akur. Tapi juga kalau fanatik anti Arab, jangan minum kopi lagi, ya.

Saya benci sekali melihat radikalisme yang berakar dari fanatisme dan pengkultusan individu. Era nabi sudah selesai, tidak ada satu pun kepala manusia di dunia ini yang selayaknya dijunjung seperti titisan Tuhan dan dikultuskan setengah mati. "Barang siapa menghujat beliau, Anda masuk neraka."
Astaga.

Bicara kita ini sungguh asal. Mungkin ada benarnya kata pemain bulutangkis Denmark itu.
Kita kurang dididik orang tua untuk bicara baik dan benar.

You Might Also Like

0 comments

Let's give me a feedback!