Kalah

Tuesday, July 25, 2017


Pagi ini saya disapa wanita yang tampak paruh baya tapi tampak muda karena semangatnya saat mengajak saya mengobrol di pesawat dari Bandung menuju Denpasar. Ia memiliki perusahaan konsultan seluruh lini bisnis, berpusat di Bogor dan kadang di Bali. Mengetahui saya memiliki latar belakang psikologi industri dan organisasi, serta 3 tahun bekerja di perusahaan IT, ia berjanji mengajak saya minum kopi di Denpasar saat kami berdua ada di sana, dan meminta kontak saya. Bertemu wanita-wanita kuat sepertinya selalu membuat saya bertanya-tanya, pernahkah mereka kalah dengan dirinya sendiri? Pernahkah mereka ada di posisi saya yang pernah hampir menyerah di ujung hari?

Ia kembali membaca koran, dan saya memalingkan perhatian ke film Hidden Figures di layar kaca bangku pesawat depan saya.

***

Beberapa waktu lalu saat sedang berduka, saya membaca kabar kepergian Chester Bennington. Meski investigasi masih dijalankan, tak sedikit yang berspekulasi Chester kalah dengan depresinya akan kekerasan, alkohol, dan obat-obatan sejak kecil. Saya juga baru mengecek situs band Linkin Park dan mereka menyediakan satu laman khusus untuk sang mendiang dengan keterangan khusus untuk pembaca, jika mengetahui seseorang yang butuh bantuan untuk bunuh diri untuk menghubungi hotline yang tertera.


Rasanya kalah dengan diri sendiri memang menyesakkan. Ada satu hal yang mengganggu dan mengalahkan pemikiran meski hal lainnya baik-baik saja. Sayangnya, seringkali kekalahan itu datang dari hal-hal non material. Kekerasan verbal, kekerasan seksual, penghinaan atau perilaku yang didasari prasangka dari orang dengan ras atau agama berbeda. Jikalau manusia berevolusi menjadi makhluk hidup yang memiliki daya adaptasi tertinggi, barangkali manusia-manusia yang kalah adalah mereka yang bermutasi memiliki daya adaptasi rendah? Tapi benarkah demikian? Jika evolusi kebanyakan bicara soal mempertahankan gen ke generasi selanjutnya maka bicara soal sumberdaya sudah cukup: makanan dan pasangan untuk punya anak. Tapi Chester, atau masih lekat di ingatan kita Robin Williams, bukanlah Homo sapiens tanpa sumberdaya. 

Tanggal 15 Juli 2017, malam hari. Saya baru turun dari Gunung Pangrango dan mendapat kabar bahwa seorang akademisi pergi lagi dari hidup saya setelah Mas Ito. Jika Mas Ito mengajari saya soal toleransi, orang ini memperlihatkan saya apa itu toleransi. Kepergiannya begitu mendadak. Ditangisi banyak orang, dan pemakamannya diiringi banyak pihak. Saat misa, saya sendirian di sisi kanan ruang rumah duka dan akhirnya punya ruang untuk menangis sendiri. Karena agama tidak sama dengan keyakinan, bukanlah prosesi agama yang memberikan saya ruang untuk mensyukuri kehadirannya dalam hidup saya, namun keyakinan bahwa kemanusiaan masih ada di negeri ini. Almarhum kalah dengan batasan fisiknya, namun membiarkan saya tidak kalah dengan kepercayaan saya.


Bicara kematian terasa mudah sebelumnya bagi saya saat menggarap skripsi tentang ingatan akan kematian dan eksistensi selama satu tahun. Namun saat menghadapi kondisi yang sebenarnya, ternyata justru proses itu membuat saya lebih sulit lagi menghadapi kekalahan seseorang di penghujung waktunya. Saya memahami mekanismenya, baik di kepala saya atau di kepala orang-orang lain yang menangisi kekalahan orang yang dicintainya, dan saya jadi tidak bisa menerima apa adanya. Tapi barangkali Gunung Pangrango dan langit Flores sudah mengajarkan saya beberapa hari ini.

Di jalur menuju Gunung Pangrango saya melihat bubukuan bodas (Strobilanthes cernua). Bunga ini menghiasi tapak jalan berbatu, bergerombol dan mekar bersama-sama. Partner saya kaget, dan mengatakan ini adalah bunga yang beberapa tahun lalu pernah ia cari bersama dosen ekologinya, karena berbunga 7 tahun sekali. Bunga ini hanya hidup dan berbunga sekali, lalu akan mati bersama-sama. Mungkin, eksistensi manusia sama layaknya bunga itu. Hidup dan mekar indah, kemudian menghilang begitu saja. Namun kehadirannya akan ditunggu dan dapat membahagiakan pejalan yang terlewat dan kelelahan.

Sama halnya dengan matahari terbenam di perjalanan menuju Ruteng dari Labuan Bajo sore kemarin. Tahun lalu, saya melewati jalan yang sama, juga sendirian, dari Ruteng menuju Labuan Bajo. Saya menatap matahari terbenam yang sama dengan tahun lalu, dengan siluet garis perbukitan Flores dan semburat keemasan jingga di awan perak, di dalam mobil dengan supir yang menyetir dengan sangat cepat di medan berkelok-kelok. Matahari terbenam itu, tetap ada di sana.


Dan mungkin seperti matahari terbenam itu, eksistensi manusia hadir pada waktunya, dan indah menjelang terbenam. Meski matahari kalah pada akhirnya, ia tetap menghangatkan manusia hingga akhir sebelum kehadirannya ditelan malam.

Ruteng, 25 Juli 2017

You Might Also Like

2 comments

  1. Halo, mbak Pita ! Apa kabar mbak? Hehe. Meski kita bertemu setahun lalu dan kemudian tidak bertemu lagi setelah itu tapi aku masih suka menemui mbak dari pikiran-pikiran serta cerita mbak di blog ini hehe :D.
    Aku suka sekali. Dan aku mengagumi segala barisan kata di laman ini. Terimakasih ya mbak sudah banyak memberi ilmu, membagi pengalaman, dan menabur hikmah dari segala postingan mbak hehehe :D.
    Sampai ketemu lagi mbak ! Tetap sehat, tetap bermanfaat. Yiha! ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Ismi!
      Kemarin aku ke Jogja, ada presentasi di UGM dan menyempatkan diri mampir ke Wikikopi dan diskusi dgn mas Qomar. Baru sadar tepat setahun lalu pada tanggal yg sama menyelesaikan Hackafarm, trus baca komen Ismi di sini.
      Makasih sudah masih mau bertemu aku di tulisanku ya, semoga melalui tulisan aku masih bisa bermanfaat dan memberi perspektif baru.
      Sampai ketemu juga, Ismi! Sehat selalu dan bahagia dengan pilihan-pilihan dalam hidup, ya!

      Delete

Let's give me a feedback!